Welcome To My BLOG
Kamis, 27 Juli 2017
Silabus RPP Pendidikan Agama Kristen Bag. 4: RPP PAK SMP Kelas VIII Semester 2
Silabus RPP Pendidikan Agama Kristen Bag. 4: RPP PAK SMP Kelas VIII Semester 2: Silahkan Download: Format Word Format Pdf RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) No: 3 A. ...
Kamis, 31 Januari 2013
Jenis-jenis koneksi internet
JENIS JENIS KONEKSI INTERNET
Untuk dapat tersambung ke jaringan internet, pengguna harus menggunakan layanan khusus yang disediakan ISP melalui media transfer data yang sesuai. Bisa melalui saluran telepon atau media yang lain. Kebutuhan akan koneksi internet yang cepat mendorong pengembangan teknologi komunikasi data yang baru. Dulu, akses internet dial up melalui jaringan telepon dirasa sudah mencukupi. Namun saat ini, layanan itu tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar pengguna internet. Pengguna internet tentu ingin membuka halaman-halaman buku elektronik dengan cepat, mendengarkan siaran radio internet, menonton siaran televisi online, telepon internet, atau melakukan konferensi jarak jauh. Semua itu membutuhkan koneksi internet dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu, penyedia jasa internet (ISP) menawarkan berbagai macam metode koneksi internet yang dapat dipilih pelanggan sesuai dengan kebutuhannya.
Macam-Macam Metode Koneksi Internet
1. Koneksi Dial UpDi Bab 3 kamu telah sedikit mempelajari layanan ini. Komputer yang dilengkapi dengan modem analog dapat melakukan dial up, yaitu menghubungi server milik ISP untuk memperoleh akses internet. Koneksi dial-up tidak hanya menggunakan jalur telepon rumah (PSTN), tetapi juga bisa menggunakan telepon genggam berteknologi CDMA.
Pertama-tama, komputer melalui modem melakukan pemanggilan telepon (dial-up) ke ISP. Setelah terhubung, komputer akan memperoleh akses internet dari ISP tersebut. Untuk mengakhiri koneksi internet, dilakukan dengan memutuskan hubungan telepon. Pelanggan akan dibebani biaya pulsa telepon plus layanan ISP yang jumlahnya bervariasi tergantung lamanya koneksi.
Modem dial up mengubah sinyal digital dari komputer menjadi sinyal suara (sinyal analog) yang ditransmisikan melalui kabel telepon atau sebaliknya. Itu sebabnya, pada saat koneksi internet berlangsung, kamu tidak bisa menerima atau melakukan panggilan. Modem dial up umumnya diklasifikasikan berdasarkan jumlah bit data yang dapat dikirim per detik (bps, bit per second). Dengan adanya pembatasan interferensi sinyal suara, kecepatan modem dial up maksimum adalah 56 kbps.
Koneksi dengan metode ini paling mudah dilaksanakan, sehingga jangkauannya cukup luas. Kekurangan paling mendasar adalah masalah kecepatan koneksi. Kualitas jaringan telepon yang terpasang sangat berpengaruh pada kualitas koneksi. Hal ini disebabkan karena lebar pita frekuensi yang dipakai rentan terhadap gangguan (noise) yang ditimbulkan dari lingkungan. Meski demikian, masih banyak orang yang mempergunakan layanan dial up karena tidak tersedia layanan hubungan kecepatan tinggi akibat keterbatasan biaya atau karena keadaan geografis yang tidak memungkinkan.
2. Koneksi dengan Jaringan Leased Line
Jaringan internetleased line artinya jaringan yang tersedia untuk mengakses internet selama 24 jam sehari. Hal ini berbeda dengan dial up, di mana akses internet hanya tersedia pada saat kamu melakukan hubungan ke ISP. Oleh karena itu jaringan leased line juga sering disebut sebagai jaringan dedicated line, yaitu jaringan yang dikhususkan untuk koneksi internet. Jaringan leased line dapat menggunakan jaringan telepon, kabel khusus untuk internet, maupun koneksi wireless. Untuk jaringan yang menggunakan kabel, tersedia layanan ISDN dan DSL. Perhatikan uraian berikut ini!ISDN merupakan komunikasi melalui jaringan telepon yang dapat memisahkan aplikasi suara (data analog) dengan data nonsuara seperti teks, gambar, dan video (data digital) pada jaringan yang sama. ISDN dikembangkan pada jaringan telepon. Modem ISDN tidak mengubah data digital menjadi data analog atau sebaliknya seperti pada modem dial up (tidak ada proses modulasi dan demodulasi). Modem ISDN hanya memproses data digital antara komputer dengan jaringan ISDN. Kecepatan transfer data dengan layanan ini mencapai 128 kbps, lebih cepat bila dibandingkan dengan kecepatan koneksi dial up.
Modem DSL langsung terhubung dengan ISP dari pertama dihidupkan dan menjaga koneksi ini tetap berlangsung. Kebanyakan modem ini mampu membagi koneksi internet dari ISP ke beberapa komputer menggunakan port Lokal Area Network (LAN) atau wireless LAN.
Kecepatan DSL mencapai ratusan kbps hingga beberapa Mbps. Ada dua jenis teknologi DSL, yaitu ASDL (Asymmetric Digital Subscriber Line) dan SSDL (Symmetric Digital Subscriber Line). Selain itu tersedia juga layanan DSL yang lebih cepat dibandingkan DSL standar, yaitu HDSL (High data-rate DSL) dan VDSL (Very high data-rate DSL).
3. Koneksi melalui Jaringan Wireless
Koneksi tanpa kabel (wireless connection) merupakan inovasi baru untuk koneksi internet 24 jam. Teknologi wireless mengirimkan data menggunakan gelombang radio dalam spektrum gelombang elektromagnetik. Wireless merupakan solusi bagi para pengguna internet yang mengalami kesulitan mengakses internet dengan menggunakan kabel seperti serat optik, saluran telepon, atau jaringan kabel lainnya. Diprediksikan jaringan wireless akan menjadi pilihan utama bagi perusahaan-perusahaan dalam memenuhi kebutuhannya di masa yang akan datang. Selain untuk sambungan langsung ke internet, jaringan wireless ini dapat digunakan untuk menggantikan jaringan LAN dengan kabel yang disebut Virtual Private Network (VPN).Salah satu kelebihan dari wifi adalah kepraktisan, tidak perlu repot menghubungkan komputer/laptop secara fisik ke jaringan internet melalui kabel. Kecepatan akses tergantung sinyal yang diperoleh, artinya semakin dekat dengan hotspot, sinyal semakin baik, sehingga kecepatan yang diperoleh semakin tinggi sampai batas tertentu. Meskipun wifi hanya dapat diakses ditempat yang bertandakan “Wifi Hotspot”, jumlah tempattempat umum yang menawarkan “Wifi Hotspot” terus meningkat secara drastis. Dengan fasilitas “Wifi Hotspot”, berarti pelanggan mereka dapat mengakses internet yang artinya memberikan nilai tambah bagi para pelanggan.
4. Koneksi melalui Telepon Genggam
Koneksi internet melalui telepon genggam merupakan bentuk lain teknologi wireless yang diperuntukkan bagi peralatan bergerak (mobile wireless). Ada beberapa jenis teknologi layanan internet melalui telepon genggam, masing-masing mempunyai kecepatan akses yang berbeda-beda.Untuk meningkatkan kecepatan transfer data melalui telepon genggam, para ahli mengembangkan teknologi generasi kedua (2G) yaitu GPRS (General Packet Radio Service) sebagai salah satu standar komunikasi wireless. Dibandingkan dengan protokol WAP, GPRS memiliki kelebihan dalam kecepatannya yaitu mencapai 115 kbps. GPRS mendukung format data yang lebih luas, termasuk aplikasi grafis dan multimedia. Layanan ini dapat diakses melalui telepon genggam yang mendukung fasilitas GPRS. Teknologi lanjutan dari GPRS untuk memperoleh kecepatan transfer data yang lebih tinggi disebut EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Environment). EDGE sering disebut teknologi komunikasi bergerak generasi 2,5 (2,5 G) yang memiliki kecepatan transfer 384 kbps.
Tuntutan pengguna telepon genggam untuk bisa bertelepon sambil bertatap muka (video calling) atau mengirim foto dan video dengan cepat, diperlukan kemampuan transfer data yang lebih cepat lagi. Maka dikembangkan teknologi wireless mobile generasi ketiga (3G), yaitu W-CDMA (Wideband Code Division Multiple Access) atau juga disebut UMTS (Universal Mobile Telecommunication Service). Layanan 3G ini dapat mencapai kecepatan transfer data hingga 2 Mbps. Saat ini telah tersedia teknologi transfer data yang lebih cepat, yaitu HSDPA (High Speed Downlink Pocket Addressing atau sering disebut 3,5G). Telepon genggam yang mempunyai teknologi HSDPA dapat mengakses internet hingga kecepatan 3,6 Mbps. Bahkan tengah dikembangkan teknologi komunikasi bergerak generasi keempat atau 4G dan 4,5 G yang mampu melakukan transfer data lebih cepat lagi. Sayangnya, teknologi 3G belum tersedia secara merata di seluruh wilayah tanah air kita. Infrastruktur 3G masih mahal, oleh karena itu layanan ini baru tersedia di beberapa kota di Pulau Jawa. Belum lagi harga telepon genggam yang mendukung 3G masih cukup mahal.
5. Koneksi melalui Jaringan Lokal (LAN)
Di bab 2 kamu sudah mempelajari manfaat jaringan komputer. Salah satunya adalah untuk berbagi koneksi internet. Artinya dengan menghubungkan komputer ke jaringan lokal (LAN) yang telah terkoneksi ke internet, maka kamu dapat mengakses internet melalui komputer tersebut. Mudah ya. Konsep inilah yang banyak dipakai di warnet (warung internet) dan kantor-kantor. Satu sambungan internet dipakai bersama-sama oleh beberapa komputer. Itulah sebabnya, biaya akses internet dari warnet lebih murah dibandingkan kamu mengakses internet dial up melalui telepon rumah. Sayangnya, bila jumlah komputer dalam jaringan LAN cukup banyak dan semua digunakan untuk mengakses internet, akses internet menjadi lambat.HARDWARE DAN SOFTWARE KOMPUTER
HARDWARE DAN SOFTWARE KOMPUTER
Kebanyakan masyarakat saat ini membagi komputer menjadi dua bagian . Bagian pertama adalah hardware yang merupakan perangkat fisik yang ada di dalam komputer. Dan bagian yang kedua adalah software komputer, yang memberitahukan hardware mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Apabila diibaratkan bahwa komputer adalah makhluk hidup, maka hardware adalah tubuhnya seperti mata untuk melihat, paru-paru untuk bernapas dan bagian tubuh lainnya, sedangkan perangkat lunak atau software diibaratkan sebagai kepintarannya, seperti memproses gambar yang dilihat mata, memerintahkan tangan untuk mengangkat objek, dan memaksa tubuh untuk menarik nafas dengan menggunakan paruparu.Hardware berupa peralatan fisik dari sebuah sistem komputer, peralatan ini terdiri atas 3 jenis, yaitu:
1.Perangkat masukan (Input device) Perangkat masukan berfungsi untuk memasukkan data, baik berupa teks, foto, maupun gambar ke dalam komputer.Contoh perangkat input misalnya keyboard, mouse, light-pen, scanner, dan sebagainya.
2.Perangkat keluaran (Output device) perangkat keluaran dipergunakan untuk menampung dan menghasilkan data yang dikeluarkan, misalnya monitor dan printer.
3.Perangkat pengolah data (Processor) Perangkat pengolah data dipergunakan untuk mengolah data.Pengolah data meliputi unit pengolah pusat (CPU/Central Processing Unit) dan juga mikroprosesor.
Macam-macam perangkat keras (hardware):
- CPU (Central Processing Unit) Merupakan alat yang berfungsi sebagai pemroses data.CPU berisi rangkaian sirkuit yang menyimpan instruksi-instruksi pemrosesan dan penyimpanan data.
- Monitor Merupakan alat yang mampu menampilkan teks maupun gambar dari data yang sedang diproses dalam CPU.
- Keyboard Keyboard merupakan alat untuk memasukkan data maupun perintah ke CPU, biasanya terdiri atas rangkaian huruf, angka, dan tombol fungsi lainnya.
- Mouse Mouse merupakan alat bantu untuk memberikan perintah dalam memproses data atau mengedit data.
- Printer Priter merupakan alat yang memproduksi keluaran data (output) berbentuk cetak, berupa teks maupun gambar/grafik.
- CD ROM Alat tambahan (alat peripheral) yang mampu menyimpan dan menuliskan data dan program melalui media CD (Compact Disk).Alat ini didesain mampu menuliskan dan membaca data atau program melalui sistem optik. 7 Compact Disk (CD) Media penyimpanan yang terbuat dari bahan plastik.Proses penyimpanan dan pembacaan data menggunakan sistem optik. 8 Floppy Disk Floppy disk merupakan alat tambahan untuk menyimpan atau menuliskan ke dalam disket maupun sebaliknya, ukuran yang umum digunakan adalah ukuran 3,5 inchi.
10. Scanner Scanner merupakan alat Bantu untuk memasukkan data berupa gambar atau grafik dan mengubahnya ke dalam bentuk digital sehingga dapat diproses dan digabungkan dengan bentuk data yang berupa teks.
Software komputer dibagi menjadi dua kategori utama yaitu sistem software dan software aplikasi. Sistem software menyajikan program yang dapat mengijinkan hardware berjalan dengan semestinya. Software aplikasi menyediakan program yang mengijinkan pengguna untuk melakukan sesuatu disamping menjalankan hardware. Ada pula beberapa tipe komputer software, diantaranya :
- Software Games Jenis software ini termasuk dalam kategori entertainment atau hiburan, software ini memiliki berbagai macam jenis. Jenis-jenis tersebut seperti MMOs (Massive Multiplayer Online games), first-person shooters, action games, roleplaying games, and game petualangan.
- Software Driver Program ini gunanya agar Hardware yang kita pasang (Kita Hubungkan) dalam komputer dapat berinteraksi dengan Komputer Contoh prangkat2 yang memerlukan driver adalah seperti printer, scanner, dan video cards.
- Software Pendidikan berbeda dengan jenis program sebelumnya, software pendidikan ini dapat mengajarkan apapun dari komputer, melakukan aktifitas yang berhubungan seperti mengetik atau berbagai macam jenis pendidikan lainnya seperti kimia. Media player dan pengembangan software media lainnya Software yang dibuat untuk dapat memainkan atau mengedit media digital seperti file music atau video.
- Software Aplikasi Software yang diinstal pada komputer yang sesuai dengan os yang ada, dimana software aplikasi ini diinstal sesuai dengan kebutuhan User (Pengguna) contohnya, MS Office (Ms Word, Ms Excell, Ms Power Point dll), Software Grafis (Adobe Photoshope, Corel Draw, Autocad dll).
- Software Produktifitas Jenis software ini mengijinkan pengguna untuk lebih produktif baik itu dalam menjalankan bisnis atau menjalankan aktifitas produktif lainnya. Contoh dari software ini adalah software pengolah huruf (Ms Words), Software pengatur database, software presentasi dan beberapa software lainnya
- Software Program Software yang berfungsi untuk membuat aplikasi-aplikasi program (Membuat Program baru) seperti program Games, Program data Base, Program Web dll, Contoh Software Program : Visual Basic, Cobol, C++, Program PHP dll
- Softwar Aplikasi Tools Program-program yang berfungsi untuk mempercepat, memperbaiki, dan mempermudah pengoperasian komputer
- Operating sistem Adalah software utama, dimana pada saat menghidupkan komputer, maka software inilah yang pertama sekali akan muncul, macam2 software OS adalah Windows (Xp, Vista, Win 2000), Linux, Apple, Machintos dll, dan pada software inilah program aplikasi lainnya di install.
Teknologi
Teknologi
Selalu saja ada hal yang menarik untuk diceritakan dalam dunia teknologi komputer, Dunia yang memiliki aktivitas informasi yang pesat dan cepat, hal-hal baru, unik, menarik dan seru dari beragam perkembangan yang terus meningkat dan bermunculan setiap hari tanpa kenal antri. Kita tahu bahwa komputer bukan lagi sebuah barang mewah melainkan sudah menjadi kebutuhan dalam mempercepat dan mempermudah pekerjaan kita. Bagi sebagian besar dari kita bahkan telah menjadikan komputer sebagai sahabat yang akan ditemui di tempat kerja setiap hari. Tentu saja seiring berjalannya waktu, teknologi komputer pun dirancang semakin canggih.
Pada dasarnya ada beberapa bidang dari perkembangan teknologi ini. Berikut ini adalah beberapa bidang dari artikel teknologi komputer yang bisa ditemukan temukan antara lain:
Software komputer
perkembangan software juga tidak kalah dengan perkembangan software komputer. Berbagai kebutuhan menuntut semakin kreatifnya para pengembang dalam membuat berbagai software komputer. Perkembangan software ini bisa Sobat temukan dan baca di artikel teknologi komputer yang bertebaran di berbagai komunitas yang ada di internet.
Hardware komputer
Perangkat keras komputer atau yang sering disebut dengan hardware adalah bagian komputer yang terus berkembang. Semakin lama, hardware komputer yang dikembangkan semakin canggih dengan berbagai kemampuan yang lebih baik. Beberapa hardware yang mengalami perkembangan cukup signifikan adalah kecepatan prosesor, teknologi memori komputer, kapasitas harddisk yang semakin lama semakin besar, dan teknologi lainnya.
Bahasa Pemrograman
Bagi Sobat yang tertarik dengan pembuatan program-program komputer, tentu artikel teknologi komputer yang terkait akan menarik minat Sobat. Ada banyak bahasa pemrograman yang bisa dipakai dalam membuat berbagai aplikasi. Di dalam artikel-artikel tersebut, Sobat bisa menimba berbagai ilmu terkait bahasa pemrograman yang bersangkutan.
Keamanan data
Keamanan data merupakan hal yang sangat penting di dalam dunia komputer. Begitu luas dan cepatnya perkembangan jaringan, terutama jaringan komputer membuat faktor keamanan menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dari perhatian. Dari berbagai artikel teknologi komputer seputar keamanan data dan sistem serta jaringan, Sobat dapat memahami lebih mendalam apa saja yang harus dilakukan demi keamanan komputer yang Sobat miliki.
Teknologi terbaru
Di berbagai artikel teknologi komputer, anda juga bisa menemukan bagaimana peranan komputer yang semakin meluas di berbagai bidang dan menemukan begitu canggihnya komputer di dalam bidang-bidang tersebut. Hampir seluruh kehidupan manusia bisa dibantu dengan kehadiran teknologi komputer ini.
E-Commerce
E-Commerce
http://www.kaskus.co.id/
KASKUS adalah forum diskusi & jual beli terbesar di Indonesia.
KASKUS adalah rumah bagi siapa saja untuk menemukan segala hal yang mereka butuhkan. Jutaan orang menggunakan KASKUS untuk mencari informasi, pengetahuan, bergabung dengan komunitas baru, hingga jual beli segala jenis barang dan jasa dengan harga terbaik.
KASKUS terbagi kedalam dua jenis forum yaitu Forum & Forum Jual Beli (FJB). Forum adalah tempat untuk mendiskusikan segala hal. FJB adalah tempat untuk bertransaksi jual beli segala macam produk.
Forum diskusi KASKUS kerap memberitakan informasi yang tidak bisa ditemukan di portal-portal berita lain. FJB KASKUS juga terbukti sebagai tempat paling lengkap untuk menemukan segala macam produk & jasa.
Di KASKUS juga tercipta jargon & istilah-istilah khas yang akhirnya menjadi budaya pengguna internet di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Juragan, Pertamax, Rekber, COD, dan istilah-istilah lainnya. Cek istilah KASKUS disini.
Terus terhubung dengan KASKUS di jejaring lainnya
http://www.berniaga.com/
Berniaga.com mempertemukan penjual dan pembeli agar mendapatkan penawaran terbaik dengan cara yang mudah dan aman.
Sebagai contoh:
- Anda akan pindah rumah tapi tidak mau membawa beberapa perabot. Silakan pasang iklan di berniaga.com dan lihat apakah ada orang lain yang memerlukan barang tersebut lebih dari Anda. Dengan begini, Anda lebih mudah pindah dan orang lain mendapatkan barang yang diperlukannya.
- Anda ingin ganti mobil tapi perlu menjual mobil lama. Pasang iklan saja di berniaga.com dan berhubungan langsung dengan pembeli potensial. GRATIS! Di sini, Anda juga dapat mencari mobil yang sedang diinginkan.
Kami juga berusaha menjaga dan melindungi seluruh pengunjung situs agar terhindar dari penipuan. Fasilitas keamanan yang kami siapkan adalah dengan mereview setiap iklan yang masuk agar iklan yang dipublikasikan nantinya benar-benar berkualitas. Hal ini meminimalisir potensi penipuan yang kerap terjadi pada jual beli online.
Situs ini adalah sebuah produk dari PT 701Search, perusahaan patungan antara Singapore Press Holdings Limited dan Schibsted ASA.
Singapore Press Holdings Limited (SPH) adalah perusahaan media Asia Tenggara terbesar dengan portfolio 17 surat kabar dalam 4 bahasa; lebih dari 100 majalah dan banyak lagi situs internet. SPH juga bergerak di bidang penyiaran, iklan luar, dan property.
Schibsted ASA melalui anak perusahaannya Schibsted Classified Media (SCM) adalah perusahaan iklan baris terbesar di Eropa. Mereka memiliki operasi di pasar maju seperti Belgia, Perancis, Spanyol, dan Swedia, ditambah dengan di pasar berkembang seperti Asia, Eropa Timur, dan Amerika Selatan.
http://www.bhinneka.com/aspx/bhindexpc.aspx
Saya akan mengulas dan membongkar fakta dari belanja barang elektronik, termasuk shop online, Bhinneka.com adalah webstore no.1 di indonesia belanja online sudah pasti itu menjadi pilihan semua orang, selain tidak rumit, cara ini biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi, sehingga tidak sempatnya waktu untuk membeli barang yang diinginkan, dan adapula orang lebih memilih belanja secara online meskipun mereka banyak waktu untuk belanja secara langsung, tetapi rasa malas lah yang menjadi faktor semua itu, membeli barang secara online lebih dipilih pada zaman maju seperti sekarang ini, sebenarnya kita juga bisa langsung datang ke Bhinneka.com langsung. berbicara sola Bhinneka.com sebenarnya banyak yang harus kita gali semua fakta didalamnya.
B’Nerz adalah sebutan untuk para pencinta setia Bhinneka.com.
barang yang diperdagangkan harus menjadi jaminan penting ketika membeli, Bhinneka.com menjamin kualitas barang asli / original sehingga pembeli selalu bertambah setiap harinya.
Bhinneka.com dengan percaya dirinya menjamin harga yang mereka pasang lebih murah, saya sendiri sebelumnya sudah percaya, tapi saya coba membandingkan harganya, memang benar harga di Bhinneka.com memang lebih murah dibanding yang lain.
Bhinneka.com banyak menjual macam-macam produk, sehingga pembeli lebih leluasa dan lebih nyaman untuk membeli selain banyak pilihan, banyaknya barang yang dijual juga bisa menarik pembeli lebih percaya.
PENGERTIAN E-COMMERCE
E-commerce atau bisa disebut Perdagangan elektronik atau e-dagang adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (supply chain management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.
E-dagang atau e-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-dagang juga memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.
E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2 milyar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011.
Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat waktu, pelayanan yang bagus, struktur organisasi bisnis yang baik, jaringan infrastruktur dan keamanan, desain situs web yang bagus, beberapa faktor yang termasuk:
1. Menyediakan harga kompetitif
2. Menyediakan jasa pembelian yang tanggap, cepat, dan ramah.
3. Menyediakan informasi barang dan jasa yang lengkap dan jelas.
4. Menyediakan banyak bonus seperti kupon, penawaran istimewa, dan diskon.
5. Memberikan perhatian khusus seperti usulan pembelian.
6. Menyediakan rasa komunitas untuk berdiskusi, masukan dari pelanggan, dan lain-lain.
7. Mempermudah kegiatan perdagangan
Beberapa aplikasi umum yang berhubungan dengan e-commerce adalah:
* E-mail dan Messaging
* Content Management Systems
* Dokumen, spreadsheet, database
* Akunting dan sistem keuangan
* Informasi pengiriman dan pemesanan
* Pelaporan informasi dari klien dan enterprise
* Sistem pembayaran domestik dan internasional
* Newsgroup
* On-line Shopping
* Conferencing
* Online Banking
Perusahaan yang terkenal dalam bidang ini antara lain: eBay, Yahoo, Amazon.com, Google, dan Paypal. Untuk di Indonesia, bisa dilihat di kaskus.com, berniaga.com, bhineka.com, dll.
Rabu, 30 Januari 2013
Sejarah Bahasa Indonesia
Sejarah Bahasa Indonesia
SEJARAH BAHASA INDONESIA
1) Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Merdeka
Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada
zaman Sriwijaya, bahasa Melayu di pakai sebagai bahasa penghubung antar
suku di Nusantara dan sebagai bahasa yang di gunakan dalam perdagangan
antara pedagang dari dalam Nusantara dan dari luar Nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan-peninggalan misalnya:
1. Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380
2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
3. Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
5. Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.
Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan hidup dan sastra.
2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
Bahasa resmi kerajaan.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara, serta makin berkembang dan
bertambah kokoh keberadaannya karena bahasa Melayu mudah di terima oleh
masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar
suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan. Perkembangan
bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya
rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu
para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara
sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928).
2) Perkembangan Bahasa Indonesia Sesudah Merdeka
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu,
para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat, para
pemuda berikrar:
1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.
2. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
3. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ikrar para pemuda ini di kenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Unsur
yang ketiga dari “Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa indonesia. Pada tahun 1928
bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia di nyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945
di sahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di
dalam UUD 1945 di sebutkan bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa
Indonesia,(pasal 36). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa
indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa
indonesia di pakai oleh berbagai lapisan masyarakat indonesia.
Peresmian Nama Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas
persatuan bangsa indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya
setelah Proklamasi Kemerekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya,
bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa
Indonesia berposisi sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik,
bahasa indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.
Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu-Riau dari abad ke-19.
Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya
sebagi bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai
proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di
awali sejak di canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk
menghindari kesan “Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap
di gunakan.
Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari
varian bahasa Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya.
Hingga saat ini, bahasa indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang
terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun di pahami dan
di tuturkan oleh lebih dari 90% warga indonesia, bahasa indonesia
bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga
indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di indonesia
sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali menggunakan
versi sehari-hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek Melayu
lainnya atau bahasa Ibunya.
Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat
luas di perguruan-perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak,
surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga
dapatlah dikatakan bahwa bahasa indonesia di gunakan oleh semua warga
indonesia. Bahasa Melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta
makin berkembang dengan dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu
yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara dalam pertumbuhan
dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosa kata
dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia,
bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai
variasi dan dialek. Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara
mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan
bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa
Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu
menggunakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam sumpah pemuda 28 Oktober
1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus
berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh dengan tantangan.
Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di
samping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional
sebagai salah satu ciri cultural, yang ke dalam menunjukkan sesatuan dan
keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa lain.
Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:
1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena
dalam bahasa melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan
bahasa halus).
3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan
sukarela menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional.
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
2. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara berserta fungsinya
Sebagai Bahasa Nasional Tanggal 28 Oktober 1928, pada hari “Sumpah Pemuda” lebih tepatnya, Dinyatakan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional memilki fungsi-fungsi sebagai berikut : 1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
adapun penjelasanya :
1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakan nya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda. Yang bunyinya sebagai berikut :
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Sebagai Bahasa Nasional Tanggal 28 Oktober 1928, pada hari “Sumpah Pemuda” lebih tepatnya, Dinyatakan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional memilki fungsi-fungsi sebagai berikut : 1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
adapun penjelasanya :
1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakan nya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda. Yang bunyinya sebagai berikut :
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe, Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
Kedudukan kedua dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara lain yang terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara persemakmurannya. Contohnya saja India, Malaysia, dll yang harus bisa menggunakan Bahasa Inggris.3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Kedudukan ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dll. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
4.Bahasa Indonesia sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
Agar semua bangsa indonesia memiliki bahasa pemersatu dalam berkomunikasi walaupun berbeda – beda asal,suku,ras dan adat
Kedudukan kedua dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara lain yang terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara persemakmurannya. Contohnya saja India, Malaysia, dll yang harus bisa menggunakan Bahasa Inggris.3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Kedudukan ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dll. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
4.Bahasa Indonesia sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
Agar semua bangsa indonesia memiliki bahasa pemersatu dalam berkomunikasi walaupun berbeda – beda asal,suku,ras dan adat
Sebagai Bahasa Negara
Dalam UUD 1945 bab XV, pasal 36, telah ditetapan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa Negara. Dengan demikian, selain berkedudukan sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa
negara.
Pada tanggal 25-28 Februari 1975, Hasil perumusan seminar polotik
bahasa Nasional yang diselenggarakan di jakarta. berikut fungsi dan
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah :1. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
4. Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
2. Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
4. Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
adapun penjelasanya :1. Bahasa resmi kenegaraan
Dalam kaitannya dengan fungsi ini bahasa Indonesia dipergunakan
dalam adminstrasi kenegaraan, upacara atau peristiwa kenegaraan baik
secara lisan maupun dalam bentuk tulisan, komunikasi timbal-balik antara
pemerintah dengan masyarakat. Dokumen-dokumen dan keputusankeputusan
serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemeritah dan badanbadan
kenegaraan lain seperti DPR dan MPR ditulis di dalam bahasa Indonesia.
Pidato-pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan di
dalam bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan pemakaian bahasa
Indonesia oleh warga masyarakat kita di dalam hubungannya dengan
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan.
Suhendar dan Supinah (1997) menyatakan bahwa untuk melaksanakan
fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan sebaikbaiknya,
pemakaian bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan adminstrasi pemerintahan
perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasaan bahasa Indonesia
perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan di dalam pengembangan
ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat baik sipil
maupun militer, dan pemberian tugas-khusus
baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
Sebagai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dipergunakan
dilembaga-lembaga pendidikan baik formal atau nonformal, dari tingkat
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Masalah pemakaian bahasa
Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar di segala jenis dan
tingkat pendidikan di seluruh Indonesia, menurut Suhendar dan Supinah
(1997), masih merupakan masalah yang meminta perhatian.
3. Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah
Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia tidak hanya
dipakai sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dengan
masyarakat luas atau antar suku, tetapi juga sebagai alat perhubungan di
dalam masyarakat yang keadaan sosial budaya dan bahasanya sama.
4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi
Dalam kaitan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang
memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional
sedemikian rupa sehingga ia memiliki identitasnya sendiri, yang
membedakannya dengan bahasa daerah. Dalam pada itu untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik dalam bentuk penyajian
pelajaran, penulisan buku atau penerjemahan, dilakukan dalam bahasa
Indonesia. Dengan demikian masyarakat bangsa kita tidak
tergantung sepenuhnya kepada bangsa-bangsa asing di dalam usahanya
untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta
untuk ikut serta dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Terkait dengan hal itu, Suhendar dan Supinah (1997)
mengemukakan bahwa bahasa Indonesia adalah atu-satunya alat yang
memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional
sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri,
yang membedakannya dari kebudayaan daerah.
3.KESIMPULAN
1. BahasaIndonesia dinyatakan lahir pada 28 Oktober 1928
2. Adanya bulan bahasa di bulan Oktober
3. Awalnya dari bahasa Melayu
4. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional adalah :
1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
5. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah :1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
4. Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein
Biografi Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang
mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut
sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein
I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus,
Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai
“bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian
(uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas, agar
bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein
II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations,
Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan
bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas)
makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata
tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).
1.1 Wittgenstein I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar
kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami
persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu
disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang
mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah
suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu,
menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar
dalam berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa logika oleh Wittgenstein?
Pertama, proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran
realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti saya mengetahui
bentuk-bentuk peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui
proposisi tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami proposisi itu
tanpa perlu dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.”Begitu
prinsipilnya proposisi di mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal
mutlak yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna”
(dan itulah yang dimaksud proposisi) yang menunjuk pada suatu bentuk
peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi
bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu
realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan
bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang
dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan
filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus
dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau
salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu
ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein
dinyatakan dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian
antara struktur bahasadengan struktur realitas.
Kedua, fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi(kesesuaian),
Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa
(proposisi) dengan realitas atau dunia fakta. Suatu fakta realitas
haruslah dikandung oleh obyek perbincangan dalam bahasa dengan
pengertian yang jelas.
Di sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna,
agar setiap pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai
suatu fungsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan
faktual saja. Dan suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa
logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang
(proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).
Kesesuaian antara penggunaan alat bahasa (gramatikal)
dan makna yang dikandung obyek realitas yang diperbincangkannya
(semantik) akan memudahkan siapa pun dalam memahami sebuah ungkapan
filsafat (proposisi), karena pengertian yang dinyatakannya menggambarkan
dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu.
Untuk lebih detail memahami karakter Wittgenstein I ini, bahasa
logika itu, penting sekali untuk melihat tiga aspek mendasar yang
dituliskan Wittgenstein dalam Tractatus itu:
Pertama, Teori Gambar. Von Wright, sahabat Wittgenstein, menjelaskan apa yang dimaksud Teori Gambar dengan ungkapan berikut:
Pertama, Teori Gambar. Von Wright, sahabat Wittgenstein, menjelaskan apa yang dimaksud Teori Gambar dengan ungkapan berikut:
“Fungsi Teori Gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur
gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan
oleh Wittgenstein, sehingga kita bisa saja membalik arti kiasannya
(analogi), dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti
sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar
itu dengan dunia fakta. Cara ini dilakukan dengan menggabungkan
bagian-bagian proposisi, di mana struktur proposisi menggambarkan
kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas: yaitu suatu
kemungkinan mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.”
Dari paparan Wright tersebut, bisa dipahami bahwa kata kunci dalam Teori
Gambar Wittgenstein adalah tentang hubungan antara proposisi yang
diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu
peristiwa. Adanya prinsip “kesesuaian” antara “unsur-unsur gambar”
(inilah proposisi) dengan “unsur-unsur realitas” (makna yang ditunjuk
proposisi atau realitas) menjadi syarat mutlak kebermaknaan sebuah
ungkapanfilsafat..
Kedua, atomisme logis. Untuk memahami konsep
atomisme logis Wittgenstein, coba perhatikan ilustrasi ini. Sebuah pintu
merupakan satu bagian dari beragam bagian dari sebuah rumah, mulai dari
keberadaan dinding, jendela, kaca, atap, lantai, dan sebagainya. Setiap
bagian atau obyek yang membentuk bangunan rumah itu saling berhubungan,
memiliki interralasi. Maka memahami rumah sebagai sebuah realitas
bukanlah terletak pada berapa obyek yang menopangnya, tapi bagaimana
obyek-obyek kecil itu memiliki interrelasi dan keadaan hubungan
kausalitas, kuantitas, dan kualitas dalam ruang dan waktu. Obyek-obyek
pembangun realitas itulah yang dimaksudkan sebagai atomisme oleh
Wittgenstein, atau ada juga yang mengistilahkannya sebagai “proposisi
elementer”. Pintu, dalam ilustrasi tersebut,adalahfaktaatomis.
Demikian pula dalam memahami dunia ini. Menurut Wittgenstein, dunia ini harus diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis itu berhubungan dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini terdiri dari fakta-fakta yang keseluruhannya saling berhubungan (totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu jika diuraikan terus-menerus akan kian mengecil, hingga kemudian fakta terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi, dan itulah fakta atomis. Maka, akhirnya, bagi Wittgenstein, menguraikan bagaimana fakta-fakta atomis itu ada, berhubungan, dan membangun sebuah realitas atau keadaan harus dilakukan dengan struktur logika. Koherensi antara proposisi elementer (fakta atomis) dengan sebuah peristiwa, keadaan, atau realitas hanya bisa dijelaskan dengan nalar logis yang terang pula.
Ketiga, konsep formal dan konsep nyata. Pembeda paling terang antara konsep formal dan konsep nyata dalam filsafat Wittgenstein ialah pada struktur logikanya. Jika konsep nyata berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang jelas, terarah, dan langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada suatu variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Dalam bahasa lain, bisa dinyatakan, konsep nyata berada di dalam tubuh konsep formal dan konsep formal baru akan terpahami jika dirasuki oleh konsep-konsep nyata. Jadi, jika konsep formal bisa berubah-ubah sesuai dengan kandungan konsep nyata yang memasukinya, sementara konsep nyata secara otomatis menunjuk pada suatu kondisi atau fakta realitas yang jelas arahnya.
Cara mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu termasuk konsep formal atau konsep nyata ialah dengan cara mengajukan pertanyaan: “Apakah kita bisa memahami ungkapan itu untuk mengiyakan atau menolaknya.” Jika kita bisa memahaminya tanpa perlu verifikasi, maka itulah konsep nyata. Sebaliknya, jika kita tidak mampu memahaminya tanpa verifikasi, maka itulah konsep formal.
Contoh yang bisa menjelaskan ini bisa diperhatikan ilustrasi berikut:
“Di pojok sana, ada beberapa buku.” Mendengar kalimat ini, kita akan dengan mudah langsung mendapatkan makna (proposisi) terhadap buku (realitas). Tanpa perlu melakukan verifikasi, kita langsung mengerti bahwa buku adalah sebuah obyek dengan ciri begini dan begini yang nyata wujudnya. Inilah yang dimaksud konsep nyata.
Bandingkan dengan ilustrasi berikut:
Demikian pula dalam memahami dunia ini. Menurut Wittgenstein, dunia ini harus diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis itu berhubungan dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini terdiri dari fakta-fakta yang keseluruhannya saling berhubungan (totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu jika diuraikan terus-menerus akan kian mengecil, hingga kemudian fakta terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi, dan itulah fakta atomis. Maka, akhirnya, bagi Wittgenstein, menguraikan bagaimana fakta-fakta atomis itu ada, berhubungan, dan membangun sebuah realitas atau keadaan harus dilakukan dengan struktur logika. Koherensi antara proposisi elementer (fakta atomis) dengan sebuah peristiwa, keadaan, atau realitas hanya bisa dijelaskan dengan nalar logis yang terang pula.
Ketiga, konsep formal dan konsep nyata. Pembeda paling terang antara konsep formal dan konsep nyata dalam filsafat Wittgenstein ialah pada struktur logikanya. Jika konsep nyata berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang jelas, terarah, dan langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada suatu variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Dalam bahasa lain, bisa dinyatakan, konsep nyata berada di dalam tubuh konsep formal dan konsep formal baru akan terpahami jika dirasuki oleh konsep-konsep nyata. Jadi, jika konsep formal bisa berubah-ubah sesuai dengan kandungan konsep nyata yang memasukinya, sementara konsep nyata secara otomatis menunjuk pada suatu kondisi atau fakta realitas yang jelas arahnya.
Cara mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu termasuk konsep formal atau konsep nyata ialah dengan cara mengajukan pertanyaan: “Apakah kita bisa memahami ungkapan itu untuk mengiyakan atau menolaknya.” Jika kita bisa memahaminya tanpa perlu verifikasi, maka itulah konsep nyata. Sebaliknya, jika kita tidak mampu memahaminya tanpa verifikasi, maka itulah konsep formal.
Contoh yang bisa menjelaskan ini bisa diperhatikan ilustrasi berikut:
“Di pojok sana, ada beberapa buku.” Mendengar kalimat ini, kita akan dengan mudah langsung mendapatkan makna (proposisi) terhadap buku (realitas). Tanpa perlu melakukan verifikasi, kita langsung mengerti bahwa buku adalah sebuah obyek dengan ciri begini dan begini yang nyata wujudnya. Inilah yang dimaksud konsep nyata.
Bandingkan dengan ilustrasi berikut:
“Perhatikan obyek-obyek tersebut.” Mendengar kalimat ini, kita tidak
bisa langsung mengambil makna kalimat tersebut, lantaran kata
“obyek-obyek” tidak bisa dinyatakan langsung dalam realitas. Inilah ciri
dasar konsep formal. Kita baru akan bisa memahami apa yang dimaksud
dengan kata “obyek-obyek” jika kemudian kalimat tersebut dilanjutkan
dengan: “Ada buku, rokok, korek, HP, dan kopi”. Kalimat kedua ini adalah
konsep nyata yang mengisi obyek-obyek itu dan kita bisa langsung
memahami maknanya dalam kenyataan. Tapi makna konsep formal itu pun akan
berubah jika kalimat penerusnya adalah: “Ada bartender, home band, LCD,
AC, blower, meja, kursi, dan senyum manis waitress.” Kalimat penerus
ini adalah konsep nyata yang mengisi konsep formal pertama, sehingga
maknanya pun akan berubah.
Itulah sebabnya konsep formal sering dinyatakan sebagai “kandungan
nilai nominal”, sementara konsep nyata adalah “kandungan nilai
intrinsik”.
1.2 Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai
pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang
ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan
dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah
kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna
setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah
bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1. Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1. Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan
bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas. Fakta bahwa sangat
banyak lalu-lintas bahasa dalam kehidupan nyata sehari-hari, yang
menghasilkan makna-makna yang sangat beragam bahkan terhadap satu kata
atau proposisi, memperlihatkan betapa bahasa logika tidak mampu menjawab
keinginan dasar filsafat analitika untuk mengentaskan kerancuan makna
bahasa. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari ini menganut prinsip
bahwa makna kata ditentukan oleh penggunaannya.
Jika filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam
suatu kata dan proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian
memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka
wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk
menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas).
Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya,yang memproduksi keragaman makna nyata.
Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya,yang memproduksi keragaman makna nyata.
Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan da-lamtigaprinsipsekaligus:
Pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan kea-daan faktualnya (state of affairs).
Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggam-barkan suatu keadaan faktual.
Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggam-barkan suatu keadaan faktual.
Ketiga, setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa
logika yang sempurna, mes kipun pada pandangan pertama barangkali sukar
untuk dilihat.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telahmeletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telahmeletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
2. Tata permainan bahasa (language game).
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika
dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja”
memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan
bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh
menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya
menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang
aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan
baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali
(berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur.
Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka
tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan
permainan…”
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan
jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata
aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan
lainnya, akan kehilangan maknanya.
“Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari
sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat
tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas
tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan
kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang
terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya.
Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainanbahasa(languagegame).
Sama halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan dalam berbagai jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll., demikian pula dalam ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak memicu kekacauan bahasa dan maknanya. Misal, tata aturan permainan berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau keseharian. Kedua jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya.Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pulasebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Misal lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada bangunan, maka ia berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam konteks kebudayaan, ia berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam konteks politik, ia berarti “partai politik”.Danseterusnya.
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata “filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya. Kondisi ini sama persis dengan pentingnya untuk mengikuti tata aturan permainan bola saat kita bermain bola, agar permainan bola itu berjalan dengan terang dan baik, seperti tata aturan handball, corner, tendangan bebas, pinalti, lemparan ke dalam, teckling. Atau tata aturan permianan dalam race MotoGP, seperti through by thrue, jumping start, latest breaking, racing line, kualifikasi, lap, paddock, safety car, bendera putih, marshall,dll.
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.
Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
Sama halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan dalam berbagai jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll., demikian pula dalam ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak memicu kekacauan bahasa dan maknanya. Misal, tata aturan permainan berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau keseharian. Kedua jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya.Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pulasebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Misal lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada bangunan, maka ia berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam konteks kebudayaan, ia berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam konteks politik, ia berarti “partai politik”.Danseterusnya.
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata “filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya. Kondisi ini sama persis dengan pentingnya untuk mengikuti tata aturan permainan bola saat kita bermain bola, agar permainan bola itu berjalan dengan terang dan baik, seperti tata aturan handball, corner, tendangan bebas, pinalti, lemparan ke dalam, teckling. Atau tata aturan permianan dalam race MotoGP, seperti through by thrue, jumping start, latest breaking, racing line, kualifikasi, lap, paddock, safety car, bendera putih, marshall,dll.
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.
Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
Pertama, pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat
umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan
sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for
generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari
sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah
suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam
keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan
dalamkemajemukan.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas tampak memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda. Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family resemblances):bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku, meskipun memiliki dasar kemiripan yang dekat.Ia tidak benar-benar sama, karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.
Kata “aku”, “engkau”, misalnya, memiliki makna yang umum yang melekat pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks penggunaan apa pun juga. Tetapi ini tidak berarti bahwa kata tersebut benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keabrakan antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi formal, missal terhadap atasan atau orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan kesan tidak etis, tidak pas, tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan tata aturan permainannya.
Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family resemblances itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya “serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan permainannya.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas tampak memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda. Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family resemblances):bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku, meskipun memiliki dasar kemiripan yang dekat.Ia tidak benar-benar sama, karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.
Kata “aku”, “engkau”, misalnya, memiliki makna yang umum yang melekat pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks penggunaan apa pun juga. Tetapi ini tidak berarti bahwa kata tersebut benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keabrakan antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi formal, missal terhadap atasan atau orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan kesan tidak etis, tidak pas, tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan tata aturan permainannya.
Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family resemblances itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya “serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan permainannya.
1.3 Beberapa Kritik terhadap Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game,
memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya,
di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat
industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan
dalam studi ini.
Pertama, peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use”
(penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan
bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang pentingnya untuk
membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
Sebagaimana yang dicontohkan di bagian sebelumnya, kata biasa baku
“permintaan dan penawaran” (demand and supply) adalah khas ilmu Ekonomi.
Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard tetap dalam
menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya
masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui
dalam penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan
secara baku sesuai disiplinnya, maka hal itu akan memicu kekacauan makna
bahasa.
Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas konteks penggunannya an sich, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa biasa.
Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas konteks penggunannya an sich, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa biasa.
Kedua, kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya
mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg
Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa
sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari
tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada. “Pemahaman” (atau
“mengerti”) harus dipandang sebagai sikap fundamental untuk “mengerti”
cara berada manusia sendiri. Itulah sebabnya makna sebuah kata atau
bahasa harus digali dari segala unsur yang melengkapi bangunan kata itu
sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat dalam kata-kata itu sendiri;
kata-kata selalu mengandung makna yang penuh;[ dan merupakan makna utuh Being yang membangunnya.
Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah mengusung kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayahnya. Tentu saja, konsep language game dalam contoh ini tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana cara memaknai konteks penggunaan tiga istilah Soros itu. Karena makna dasar yang dituju oleh Soros sama sekali tidak berkaitan dengan bahasa biasa dan penggunaannya dalam tata permainan sehari-hari, tetapi menuju kepada “masa depan” panjang kapitalsime globalnya.
Ketiga, sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks.
Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur,teks adalah “any discourse fixed by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture.Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala) penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri.Karenanya, siapa pun Anda, sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda. Pada gilirannya, pemikiran ini meniscayakan pluralisme produksi makna teks.
Ricoeur lalu memunculkan dua kata kunci tentang teks yang sangat penting dalam pemikirannya, yakni what is said (apa yang dikatakan teks) dan the act of saying (cara teks mengungkapkannya). Kata kunci pertama, what is said, adalah meaning yang dikandung sebuah teks. Makna teks begitu sudah dituliskan menjadi begitu otonom, mandiri, lepas sepenuhnya dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran teks tidak menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya. Tidak adanya ruang ini otomatis menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang tentu saja sangat bergantung pada soal intensi, kepentingan, dan kapasitas pembacanya.
Pada level what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat pada standar makna apa pun. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca pertama, dengan makna yang dituliskannya pada teksnya, lalu diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, yang niscaya akan terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu sendiri (penulisnya).
Sementara the act of saying adalah bagaimana proses teks menyingkapkan makna dirinya kepada pembaca dalam sebuah event interpretasi, seperti peristiwa hermeneutis fusion of horizons, yang dengan metodologi tersebut terjalin kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dengan pembacanya di sisi lain. Proses “teks membuka diri” dalam menyatakan kandungan maknanya kepada setiap pembacanya (the act of saying) membutuhkan “pembaca yang membuka dirinya” kepada teks, yang kemudian dari event hermeneutis itu, lahirlah produksi-produksi makna.
Sampai di sini, bila dibandingkan dengan teori interpretasi teks Ricouer tersebut, apa yang bisa kita lakukan untuk memahami sebuah teks, apalagi teks suci, dengan berpegang pada filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein?
Bagaimana, misalnya, kita mampu membedakan sebuah istilah atau ungkapan teks itu bersifat formal atau tidak, memiliki keumuman makna tetapi berbeda konteks penggunaannya atau tidak, hingga bersandar pada language game (konteks penggunaan) apa yang tidak kita alami langsung proses penyampaiannya?
Mari coba kita terapkan dua teori ini pada kata “qawwamun” dalam ayat al-Qur’an. Dalam ayat “ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ bima faddalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin…” itu, kata “qawwamun” bila dikaitkan dengan konteks historisnya, language game ala Wittgenstein, bisa dipahami menunjuk pada situasi kultur patriarkal Arab saat itu. Tetapi, ketika ayat tersebut dibawa ke kehidupan hari ini, misalnya Indonesia yang lebih terbuka dalam soal gender ini, bagaimana kita memahami kata “qawwamun” tersebut? Haruskah pemimpin itu bergender laki-laki? Bagaimana bila ternyata ada perempuan yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat (leadership) dan diterima oleh masyarakat Indonesia untuk menjadi pemimpinnya? Apakah ini berarti bahwa seluruh rakyat muslim Indonesia melanggar makna otentik ayat tersebut, yang karenanya layak diklaim ingkar al-Qur’an dan berdosa besar?
Filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein tidak mampu memproduksi pemahaman logis apa pun terhadap ayat tersebut jika ayat tersebut semata disekatkan pada konteks penggunaannya (historisitasnya) yang patriarchal khas Arab masa itu. Tetapi ayat tersebut akan sangat jauh berbeda produksi penafsirannya bila didekati dengan teori hermeneutika Ricoeur tersebut, misalnya.
Demikianlah. Meski penulis kurang setuju terhadap pemikiran Ricouer dalam hal penegasian pentingnya melibatkan pengetahuan latar psikologis dan antropologis dalam menafsirkan ayat-ayat suci itu (seperti ilmu asbabun nuzul dan asbabul wurud agar teks suci tidak kehilangan konteks asli historisitasnya), pemikiran hermeneutis Ricouer (terutama tentang discourse, event, meaning, what is said, dan the act of saying) sangat berharga untuk dijadikan metodologi interpretasi teks. Ini sangat jauh berbeda dengan pemikiran Wittgenstein tentang bahasa logika, bahasa biasa, dan language game yang gagap untuk digunakan sebagai metodologi interpretasi teks.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayahnya. Tentu saja, konsep language game dalam contoh ini tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana cara memaknai konteks penggunaan tiga istilah Soros itu. Karena makna dasar yang dituju oleh Soros sama sekali tidak berkaitan dengan bahasa biasa dan penggunaannya dalam tata permainan sehari-hari, tetapi menuju kepada “masa depan” panjang kapitalsime globalnya.
Ketiga, sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks.
Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur,teks adalah “any discourse fixed by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture.Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala) penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri.Karenanya, siapa pun Anda, sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda. Pada gilirannya, pemikiran ini meniscayakan pluralisme produksi makna teks.
Ricoeur lalu memunculkan dua kata kunci tentang teks yang sangat penting dalam pemikirannya, yakni what is said (apa yang dikatakan teks) dan the act of saying (cara teks mengungkapkannya). Kata kunci pertama, what is said, adalah meaning yang dikandung sebuah teks. Makna teks begitu sudah dituliskan menjadi begitu otonom, mandiri, lepas sepenuhnya dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran teks tidak menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya. Tidak adanya ruang ini otomatis menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang tentu saja sangat bergantung pada soal intensi, kepentingan, dan kapasitas pembacanya.
Pada level what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat pada standar makna apa pun. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca pertama, dengan makna yang dituliskannya pada teksnya, lalu diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, yang niscaya akan terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu sendiri (penulisnya).
Sementara the act of saying adalah bagaimana proses teks menyingkapkan makna dirinya kepada pembaca dalam sebuah event interpretasi, seperti peristiwa hermeneutis fusion of horizons, yang dengan metodologi tersebut terjalin kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dengan pembacanya di sisi lain. Proses “teks membuka diri” dalam menyatakan kandungan maknanya kepada setiap pembacanya (the act of saying) membutuhkan “pembaca yang membuka dirinya” kepada teks, yang kemudian dari event hermeneutis itu, lahirlah produksi-produksi makna.
Sampai di sini, bila dibandingkan dengan teori interpretasi teks Ricouer tersebut, apa yang bisa kita lakukan untuk memahami sebuah teks, apalagi teks suci, dengan berpegang pada filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein?
Bagaimana, misalnya, kita mampu membedakan sebuah istilah atau ungkapan teks itu bersifat formal atau tidak, memiliki keumuman makna tetapi berbeda konteks penggunaannya atau tidak, hingga bersandar pada language game (konteks penggunaan) apa yang tidak kita alami langsung proses penyampaiannya?
Mari coba kita terapkan dua teori ini pada kata “qawwamun” dalam ayat al-Qur’an. Dalam ayat “ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ bima faddalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin…” itu, kata “qawwamun” bila dikaitkan dengan konteks historisnya, language game ala Wittgenstein, bisa dipahami menunjuk pada situasi kultur patriarkal Arab saat itu. Tetapi, ketika ayat tersebut dibawa ke kehidupan hari ini, misalnya Indonesia yang lebih terbuka dalam soal gender ini, bagaimana kita memahami kata “qawwamun” tersebut? Haruskah pemimpin itu bergender laki-laki? Bagaimana bila ternyata ada perempuan yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat (leadership) dan diterima oleh masyarakat Indonesia untuk menjadi pemimpinnya? Apakah ini berarti bahwa seluruh rakyat muslim Indonesia melanggar makna otentik ayat tersebut, yang karenanya layak diklaim ingkar al-Qur’an dan berdosa besar?
Filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein tidak mampu memproduksi pemahaman logis apa pun terhadap ayat tersebut jika ayat tersebut semata disekatkan pada konteks penggunaannya (historisitasnya) yang patriarchal khas Arab masa itu. Tetapi ayat tersebut akan sangat jauh berbeda produksi penafsirannya bila didekati dengan teori hermeneutika Ricoeur tersebut, misalnya.
Demikianlah. Meski penulis kurang setuju terhadap pemikiran Ricouer dalam hal penegasian pentingnya melibatkan pengetahuan latar psikologis dan antropologis dalam menafsirkan ayat-ayat suci itu (seperti ilmu asbabun nuzul dan asbabul wurud agar teks suci tidak kehilangan konteks asli historisitasnya), pemikiran hermeneutis Ricouer (terutama tentang discourse, event, meaning, what is said, dan the act of saying) sangat berharga untuk dijadikan metodologi interpretasi teks. Ini sangat jauh berbeda dengan pemikiran Wittgenstein tentang bahasa logika, bahasa biasa, dan language game yang gagap untuk digunakan sebagai metodologi interpretasi teks.
Agaknya, dengan uraian komparatif dan pembuktian tersebut,
pemikiran Wittgenstein hanya cocok digunakan untuk memahami makna bahasa
dalam komunikasi langsung (lisan), bukan dalam teks.
1.4 Hakikat bahasa menurut Ludwig Wittgenstein
Bahasa tidak saja digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi
logis tetapi juga digunakan dalam dan untuk berbagai hal yang
berbeda-beda. Dari segi pragmatik, Wittgenstein memastikan bahwa
terdapat keranekaragaman bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa yang
menyulitkan upaya untuk mengasalkan berbagai keanekaragaman ini pada
satu kriteria tertentu.
Menurut Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk
menjelaskan masalah-masalah dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada
asumsi Wittgenstein tentang makna bahasa. Makna sebuah kata adalah
tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat. Makna kalimat adalah
tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah
tergantung penggunaannya dalam hidup. Karena itu Wittgenstein
menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan
penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Menurut Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan
dalam penggunaan bahasa tersebut kendatipun beranekaragam tetap memiliki
aturan tata bahasa tertentu. Karena itu penyelidikan terhadap
penggunaan bahasa dapat dianalisis berdasarkan aturan tata bahasa
tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan semacam ini sebagai sebuah
penyelidikan gramatikal (Gramamatical Investigations). Ia menjelaskan
bahwa penyelidikan gramatikal merupakan sebuah klarifikasi gramatikal
terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk memperlihatkan adanya
suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini dapat dipandang
sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan gramatis
bahasa. Tujuan yang hendak dicapai dari penyelidikan gramatikal ini
yaitu untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa dalam berbagai
bidang kehidupan manusia serta spesifikasi yang memberikan karakter pada
tiap ragam penggunaan dalam setiap konteks kehidupan. Dengan
menempatkan bahasa dalam komponen-komponen yang terspesifikasi itu,
pemahaman akan bahasa yang disampaikan menjadi jelas. Singkatnya
penyelidikan gramatikal merupakan metode untuk mendapatkan kejelasan
makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
Apa yang dimaksudkan dengan bahasa sehari-hari dalam konteks ini
tidak hanya merupakan bahasa lisan tetapi juga bahasa dalam wacana
tulisan.
2.4.1 Ciri – ciri bahasa
Sifat atau ciri – ciri bahasa, antara lain adalah :
1. Bahasa adalah sebuah sistem
2. Bahasa berwujud lambang
3. Bahasa berupa bunyi
4. Bahasa bersifat arbiter
5. Bahasa itu bermakna
6. Bahasa bersifat konvensional
7. Bahasa bersifat unik
8. Bahasa bersifat universal
9. Bahasa itu bervariasi
10. Bahasa bersifat produktif
11. Bahasa bersifat dinamis
12. Bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial
13. Bahasa merupakan identitas penuturnya
1. Bahasa sebagai system
Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan
sistemis. Dengan sistemis, artinya, bahasas itu tersusun menurut suatu
pola: tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan
sistemis, artinya, bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi
terdiri juga dari sub-sub sistem; atau sistem bawahan. Di sini dapat
disebutkan, antara lain, subsistem fonologi, subsistem morfologi,
subsistem sintaksis dan subsistem semantik. Tiap unsur dalam setiap
subsistem juga tersusun menurut aturan atau pola tertentu, yang secara
keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan
atau pola tertentu, maka subsistem itu pun tidak dapat berfungsi.
Sub sistem bahasa terutama subsistem fonologi, morfologi, dan
sintaksis tersusun secara hierarkial. Artinya, subsistem yang satu
terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang lain ini
terletak pula di bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem itu
(fonologi, morfologi, dan sintaksis) terkait dengan subsistem semantic.
Sedangkan subsistem leksikon yang juga diliputi subsistem semantic,
berada di luar ketiga subsistem struktural itu.
2.Bahasa sebagai lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam kegiatan
ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi,
yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan
manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi (yang di
Amerika ditokohi oleh Charles Sanders Peirce dan di Eropa oleh Fendinand
de Saussure) dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu, antara lain
tanda (sign), lambing (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak
isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Tanda selain dipakai sebagai istilah generic dari semua yang
termasuk kajian semiotika juga sebagai salah satu dari unsur spesifik
kajian semiotika itu, adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau
mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung
dan alamiah. Misalnya, kalau di kejauhan tampak ada asap membumbung
tinggi, maka kita tahu bahwa di sana pasti ada api, sebab asap merupakan
tanda akan adanya api itu.
Berbeda dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung
dan alamiah. Lambing menandai sesuatu yang lain secarakonvensional,
tidak secara alamiah dan langsung. Karena itu lambang sering disebut
bersifat arbiter, sebaliknya, tanda serperti yang sudah dibicarakan di
atas, tidak bersifat arbiter. Yang dimaksud arbiter adalah tidak adanya
hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambing dengan yang
dilambangkannya.
Oleh karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum).
Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari symbol. Termasuk alat
komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa, misalnya
kata, adalah symbol atau lambang.
Tanda-tanda itu adalah sinyal gerak isyarat (gesture), gejala,
kode, indeks, dan ikon. Yang dimaksud dengan sinyal atau isyarat adalah
tanda yang disengaja yang dibuat oleh pemberi sinyal agar si penerima
sinyal melakukan sesuatu.
3. Bahasa adalah bunyi
Kata bunyi, yang sering sukar dibedakan dengan kata suara, sudah
biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis, menurut
Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai
akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan-perubahan dalam tekanan udara.
Bunyi bahasa atau bunyi uajaran (speech sound) adalah satuan bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati
sebagai “fon” dan di dalam fonemik sebagai “fonem”.
4. Bahasa itu bermakna
Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada sesuatu konsep, ide,
atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
Lebih umum dikatakan lambang bunyi tersebut tidak punya referen, tidak
punya rujukan. Makna yang berkenaan dengan morfem dan kata disebut makna
leksikal; yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut
makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna
pragmatic, atau makna konteks.
5. Bahasa itu arbiter
Kata arbiter diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap,
mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbiter itu adalah tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan
konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa
yang disebut significant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris:
signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie
adalah konsep yang dikandung oleh signifiant.
6. Bahasa itu konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya
bersifat arbiter, tetapi penerimaan lambang tersebut untuk suatu konsep
tertentu yang bersifat konfensional. Artinya semua anggota masyarakat
bahasa itu mematuhi konfensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk
mewakili konsep yang diwakilinya. Jadi kalau kearbiteran bahasa pada
hubungan antara lambanag-lamabang bunyi dengan konsep yang
dilambangkannya, maka kekonfensionalan bahasa terletak pada kepatuhan
para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep
yang dilambangkannya.
7. Bahasa itu produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti
produktif “ banyak hasilnya” atau lebih tepat “terus menerus
menghasilkan” lalu, kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka
maksudnya, meskipun unsure-unsur itu terbatas, tapi dengan unsur-unsur
dengan jumlahny ayng terbatas terdapat di luar satuan-satuan bahasa yang
jumlahnya yang tidak terbatas, meski secara relative sesuai dengan
sistem yang berlaku dalam bahasa.
Keproduktifan bahasa Indonesia dapat juga dilihat pada jmumlah yang
dapat dibuat. Dengan kosa kata yang menurut Kamus Besar Huruf Bahasa
Indonesia hanya berjumlah lebih kurang 60.000 buah, kita dapat membuat
kalimat bahasa Indonesia yang mungkin puluhan juta banyaknya, termasuk
juga kalimat-kalimat yang belum pernah ada atau pernah dibuat orang.
Keproduktifan bahasa memang ada batasnya dalam hal ini dapat
dibedakan adanya dua macam keterbatasan, yaitu keterbatasan pada tingkat
parole dan keterbatasan pada tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat
parole adalah pada ketidak laziman atau kebelum laziman bentuk-bentuk
yang dihasilkan. Sedangkan pada tingkat langue keproduktifan itu
dibatasi karena kaidah atau sistem yang berlaku.
8. Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki
oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik., maka
artinya, setiap bahasa mempunyai cirri khas sendiri yang tidak dimiliki
oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi , sistem
pembetukkan kata, sistem pembentukkan kalimat, atau sistem-sistem
lainnya. Salah satu keunikkan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata
tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Maksudnya, kalau pada
kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna itu
tetap. Yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat.
9. Bahasa itu universal
Selain bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau cirri
masing-masing, bahasa itu bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri
yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di Dunia ini.
Ciri-ciri yang universal ini merupakan unsur bahasa yang paling umum,
yang biasa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain.
Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa
yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang
terdiri dari vocal dan konsonan. Tetapi berapa banyak vocal dan konsonan
yang dimiliki oleh setiap bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan.
Bukti dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai
satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang maknany kata,
frase, klausa, kalimat, dan wacana. Namun, bagaimana satuan-satuan itu
terbentuk mungkin tidak sama. Kalau pembentukan itu bersifat khas, hanya
dimiliki sebuah bahasa maka hal itu merupakan keunikan dari bahasa.
Kalau ciri itu dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu hukum atau satu
golongan bahasa, maka ciri tersebut menjadi ciri universal dan keunikan
rumpun atau sub rumpun bahasa tersebut.
Ada juga yang mengatakan bahwa ciri umum yang dimiliki oleh
bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun atau sub rumpun, atau juga
dimiliki oleh sebagian besar bahasa-bahasa yang ada di Dunia ini sebagai
ciri setengah universal. Kalau dimiliki oleh semua bahasa yang ada di
Dunia ini beru bisa disebut universal.
10. Bahasa itu dinamis
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak perbah lepas
dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu,
sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat tak ada kegiatan
manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Malah dalam bermimpi pun
manusia menggunakan bahasa.
Karena keterkaitan dan keterikatan bahasa itu dengan manusia,
sedangkan dalam kehidupannya dalam manusia nya kegiatan manusia tidak
tetap dan tidak berubah, maka bahasa itu juda menjadoi ikut berubah,
menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis. Karena itulah, bahas itu
disebut dinamis.
Perubahahan yang paling jelas, dan paling banyak adalah pada bidang
leksikon dan semantik. Barang kali, hamper setiap saat ada kata-kata
baru muncul sebagai akibat perubahan dan ilmu, atau ada kata-kata lama
yang muncul dengan makna baru. Hal ini juga dipahami, karen kata sebagai
satuan bahasa terkecil, adalah sarana atau wadah untuk menampung suatu
konsep yang ada dalam masyarakat bahasa. Dengan terjadinya perkembangan
kebuidayaan, perkembang ilmu dan tekhnologi, tentu bermunculan
konsep-konsep baru, yang tentunya disertai wadah penampungnya, yaitu
kata-kata atau istilah-istilah baru.
Perubahan dalam bahasa ini dapat juga bukan terjadi berupa
pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan
perubahan yang dialami masyarakat bahasa yang bersangkutan. Berbagaio
laasan sosial dan politik menyebabkan orang meninggalkan bahasanya, atau
tidak lagi menggunakan bahasanya, lalu menggunakan bahasa lain. Di
Indonesia, kabarnya telah banyak bahasa daerah yang telah ditinggalkan
para penuturnya terutaam dengan alasan sosial. Jika ini terjadi terus
menurus, maka pada suatu saat kelak banyak bahasa yang hanya ada
beradadalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.
11.Bahasa itu bervariasi
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam
suatu masyarakat bahasa. Yang termasuk dalam masyarakat bahsa adalah
mereka merasa menggunakan bahasa yang sama. Jadi, kalau disebut
masyarakat bahasa Indonesia adalah semua orang yang merasa memiliki dan
menggunakan bahasa Indonesia.
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari ber bagai
orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya
yang tidak sama. Oleh karena itu, karena latar belakang dan
lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi
bervariasi atau beragam, dimana antara variasi atau ragam yang satu
dengan yang lain sering kali mempunyai perbedaan yang besar.
Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui,
yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam
bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri
khas bahasanya masing-masing. Kalau kita banyak membaca karangan orang
yang banyak menulis, misalnya, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana,
Hamingway, atau Mark twain , maka kita akan dapat mengenali ciri khas
atau idiolek pengarang-pengarang itu.
Dialek adalah variasi bahasa yang di gunakan oleh sekelompok
anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Variasi bahasa
berdasarkan tempat ini lazim disebut dengan nama dialek regional ,
dialek area, atau dialek geografi. Sedangkan variasi bahasa yang
digunakan sekelompok anggota masyarakat dengan status sosial tertentu
disebut dialek sosial atau sosiolek.
Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal
digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk
situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam
nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam
lisan dan ragam tulisan. Untuk keperluan pemakaiannya dapat dibedakan
adanya ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa jujrnalistik, ragam bahasa
sastra, ragam bahasa militer, dan ragam bahasa hukum.
12. Bahasa itu manusiawi
Kalau kita menyimak kembali cirri-ciri bahasa, yang sudah
dibicarakan dimuka, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan
produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa.
Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya, bahkan juga
dengan manusia, adalah memang suatu kenyataan. Namun, alat komunikasinya
tidaiklah sama dengan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa.
Dari penelitian para pakar terhadap alat komunikasi binatang bisa
disimpulkan bahwa satu-satuan komunikasi yang dimiliki binatang-binatang
itu bersifat tetap.sebetulnya yang membuat alat komunikasi manusia itu,
yaitu bahasa, produktif dan dinamis, dalam arti dapat dipakai untuk
menyatakan sesuatu yang baru, berbeda dengan alat komunikasi binatang,
yang hanya itu-itu saja dan statis , tidak dapat dipakai untuk
menyatakan sesuatu yang baru, bukanlah terletak pada bahasa itu dan alat
komunikasi binatang itu, melainkan pada perbedaan besar hakikat manusia
dan hakikat binatang. Manusia sering disebut-sebut sebagai homosapiens
makhluk yang berpikir, homososio makhluk yang bermasyarakat, homofabel
makhluk pencipta alat-alat dan juga animalrasionale makhluk rasional
yang beerakal budi. Maka dengan segala macam kelebihannya itu jelas
manusia dapat memikirkan apa saja yang lalu, yang kini, dan yang masih
akan datang, serta menyampaikannya kepada orang lain melalui alat
komunikasinya, yaitu bahasa. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa, adalah bersifat manusiawi,
dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.
3.1. Kesimpulan
Ludwig Wittgenstein adalah seorang tokoh filsafat bahasa
yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut
sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein
I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, maka Pada era Wittgenstein II, di tandai dengan karyanya Philosophical Investigations,
yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik,
bahkan dekat dengan cerita detektif. Suatu bahasa baru bisa dinyatakan
memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis
yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).Dalam bahasa logika
itu, terdapat tiga aspek mendasar yaitu:Teori Gambar,atomisme
logis,konsep formal dan konsep nyata.
Ada dua fase pokok yang membedakan pemahaman antara Wittgenstein II
dengan Wittgenstein I yaitu:Filsafat bahasa biasa (ordinary language
philosophy) dan Tata permainan bahasa (language game).Dalam tata
permainan bahasa pemikiran Wittgenstein sangat terang muncul dalam
pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah
kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah
bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah
kehidupan.
Langganan:
Postingan (Atom)