Ferdinand De Saussure
Ferdinand de Saussure
1.1 Biografi Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (lahir di Jenewa, 26 November 1857 – dari
keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang ber-emigrasi dari daerah
Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16, meninggal di
Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun) adalah linguis
Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika. Karya utamanya, Cours de linguistique générale
diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun setelah kematiannya, oleh dua
orang mantan muridnya, Charles Bally and Albert Sechehaye, berdasarkan
catatan-catatan dari kuliah Saussure di Paris. Konsepnya yang paling
terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi dua aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie
(yang dimaknai). Dalam semiologi, Saussure berpendapat bahwa bahasa
sebagai “suatu sistem tanda yang mewujudkan ide” dapat dibagi menjadi
dua unsur: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran), realisasi individual atas sistem bahasa.
Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang bahasa.
Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun kemudian
(1872), ia menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan
untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke
Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar
fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya),
namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin.
Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada
1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878-1879 di
Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar linguistik,
yakni Brugmann dan Hübschmann.
Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles dans les langues indo-européennes (Catatan
Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun
1880 ia mendapat gelar doktor (dengan prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris.
Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris.
Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahkan
gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari
Universitas Genewa. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat
bahasa, Saussure C. Menurut beliau, prinsip dasar strukturalisme adalah
bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda
(substansial)
1.2 PANDANGAN SAUSSURE YANG MEMPENGARUHI LEVIS-STRAUSS
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu linguistik
modern (Modern Linguistics). Gagasan terbesar de Saussure adalah pada
teori umum sistem tanda (general theory of sign system) yang disebutnya
dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai
penemu konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai
orang yang paling berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.
Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai
hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep
struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut
dengan semiotik (Ahimsa, 2006). Ada lima pandangan de Saussure yang
mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu:
1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda)
Bahasa adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat
bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda
kebahasaan (linguistic sign), yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.
Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut
signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified,
walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah
namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang
merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h.
35).
2 Form (wadah) dan content (isi)
Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep
ini, isi boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap
berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan yang
sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah (form) dan isi
adalah pergantian salah satu fungsi dari komponen permainan catur.
3 Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)
Konsep langue merupakan aspek yang memungkinan manusia
berkomunikasi dengan sesama. Inilah kenapa langue membicarakan juga
aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue terdapat norma-norma,
aturan-aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada setiap
pemakai bahasa. Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat
individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi seseorang.
4 Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)
De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh
karena itu keadaan ini menuntut adanya perbedaan yang jelas antara
fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta kebahsaan
yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006; 46). Karena
sifatnya yang evolutif maka tanda kebahasaan sepenuhnya tunduk pada
proses sejarah.
5 Sintagmatik dan Paradigmatik
Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan
kata-kata dalam komunikasi bukan begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan
pertimbangan-pertimbangan akan kata yang akan digunakan. Kita memiliki
kata yang mau kita gunakan sebagaimana penguasaan bahasa yang kita
miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan paradigmatik itu berperan.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata
sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa,
2006; 47).
2.1 TINJAUAN TEORITIK tentang SEMIOTIK
2.1.1 Tokoh Semiotik
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada,hampir
sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu
linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 – 1913). de
Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak
dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles
Sanders Peirce (1839 – 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams
Morris (1901 – 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics.
Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland
Barthes (1915 – 1980), Algirdas Greimas (1917 – 1992), Yuri Lotman (1922
– 1993), Christian Metz (193 – 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia
Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah
Louis Hjlemslev (1899 – 1966) dan Roman Jakobson (1896 – 1982). Dalam
ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 –
1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak
ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de
Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai
bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure)
sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar
perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan – hubungan internal
bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang
strukturalisme dalam konteks perkem-bangan kajian budaya harus
dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah
lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam
kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan
strukturalisme dan semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu
ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1).
Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di
Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang
mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan
dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya
melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan
(kontinuitas) dan
yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan ke -budayaan
sebagai sistem tanda (evolusi).
2.1.2 Makna kata ‘ tanda ‘
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat
dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur.
Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan
seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh
kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir
dari kemu –fakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang
keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi
dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan
adany a batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara
penanda dan petanda, melainkan secara gambling mendemonstrasikan
kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi
bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dar i jang-kauan dan konsekuensinya,
makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan
seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang
pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran
para –digmatik maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena operasi
sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.
Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda –tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda
harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh
van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam
kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman
(lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang
sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil
kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita
bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut
menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan
menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata
Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan
dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari
orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir.
Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg
merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan
‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai
hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata
Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada
suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang
Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar,
latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena
kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu
kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan
sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain,
tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan,
perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang
dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga
tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang
berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan
pengalaman pribadi.
2.1.3 Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya
diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur,
2004:95).Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk
pada adanya hal lain.Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu
yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku
bagi tanda (van Zoest, 1993:1).
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek –
obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli
sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak
komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman
gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat
mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru.
Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern
telah di –warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal
dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dan seorang
filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 – 1914). Peirce
menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut
telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.
Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal,
tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan
bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913).
Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang
mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan
konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu
dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan
tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda,
harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan
makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26).
Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik
dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada
ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat
didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 – 1914).
Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang
lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih l azim dalam
dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa
Kontinental.
Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf
Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman
sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat,
teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam
kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh
teman -temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya
bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai
ajalnya. Baru pada tahun 1931 – 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss
menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles Sanders Pierce.
Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W
Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce
memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada
keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah
ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan
logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”.
Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda
artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van
Zoest, 1993:10). Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda
berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns
adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam
kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan
sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah
tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah
sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik,indeksikal dan simbol.
Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan).
Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
mengisyaratkan petandanya, sedangkan symbol adalah penanda yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi
telah lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan
hubungan ketiganya.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik,
d an tidak memiliki ciriciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21).
Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent ssomething else). Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) – Object (O) – Interpretant (I).
R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsisecara fisik atau mental,
yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Ke -mudian Iadalah
bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif,
tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan
pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur.
Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di
atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan
simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang
dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar
kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa
yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu
cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik
ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R
dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila
seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang
membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses
selanjut -nya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna
hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara
R dan O menunjukkan identitas.
Akhirnya apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah
(R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’
(O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang
disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R
dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness
adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang
lain , keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap
‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat
tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini
penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman
tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut. Salah seorang
sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah
Roland Barthes (1915 – 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam
penelitiannya tentang karya – karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan,
seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen – komponen tanda penanda –
petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain
terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan
kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk memp-ertahankan dan
menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga membentuk tanda ( sign,
Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin
berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes,
ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih
dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala
meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan
dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer.
Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke
arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut
konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini
tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh
paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan
perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk
konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya
diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan,
tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika
konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi
diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan
konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia
mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van
Zoest, 1993:4).
Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva dise but
semiotika eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya sasaran akhir untuk
mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya pada
sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe totaalwetwnschap). Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu diduduki oleh pengertian produksi arti.
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris,
dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek
arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa
merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka
dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses
zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as ahierarchy of semantic systems (Lotman,
1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem
semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam
konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang
berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan
mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah
makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat
bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem
kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode
dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar
-anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya,
misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah
dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak
terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa b unyi
prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya
identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna
baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.
2.1.4 Macam – macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam
semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis
-jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem
tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan
menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan
sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam
lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda
yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu
tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan
semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh
hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah
semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan
c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang
khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik
normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang
dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia
yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambing rangkaian kata
berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.1.5 Bahasa sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan
demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan
hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh
pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya.
Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi
eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan
untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk
mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri.
Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1)
karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang
lainnya, (2) hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang
di -acunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang
sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda
kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam
komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian,
maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem.
Tiga komponen tersebut adalah: (1) sintaktik, yakni komponen yang be
rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, (2)
semantik, yakni unsur yang ber -kaitan dengan masalah hubungan antara
lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur
ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai
dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat
komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media
verbal dengan media non -bahasa atau nonverbal. Sementara media
kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan
pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya,
wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan
lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni
gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan
kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain
sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan
dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai
label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya
sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter),
menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah
satu cabang kajiannya karenakeberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari
pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat
dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat
pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai
dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya
bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.
3.1 KESIMPULAN
Hari-hari ini bahasa dipandang begitu penting oleh kaum
strukturalis dan filsuf lainnya. Mengapa? Karena bahasa adalah alat
aktualisasi dan artikulasi diri. Kita mampu memaknai pengalaman kita
lewat bahasa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan
manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan,
lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan
maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui
bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah
laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya
dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi
umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat
untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan
integrasi-interaktif dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara
khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari,
mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk
mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa ada banyak sisi negative
dari bahasa. Dewasa ini, bahasa bukan hanya difungsikan sebagai media
komunikasi tetapi bahasa juga menjadi medan persembunyian diri. Bahasa
menjadi ranah memperjuangkan ideologi-ideologi tersembunyi yang sering
menindas dan mendatangkan neraka bagi yang lain.
Semoga membantu :D
BalasHapus