Ludwig Wittgenstein
Biografi Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang
mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut
sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein
I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus,
Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai
“bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian
(uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas, agar
bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein
II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations,
Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan
bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas)
makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata
tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).
1.1 Wittgenstein I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar
kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami
persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu
disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang
mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah
suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu,
menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar
dalam berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa logika oleh Wittgenstein?
Pertama, proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran
realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti saya mengetahui
bentuk-bentuk peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui
proposisi tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami proposisi itu
tanpa perlu dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.”Begitu
prinsipilnya proposisi di mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal
mutlak yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna”
(dan itulah yang dimaksud proposisi) yang menunjuk pada suatu bentuk
peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi
bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu
realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan
bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang
dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan
filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus
dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau
salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu
ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein
dinyatakan dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian
antara struktur bahasadengan struktur realitas.
Kedua, fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi(kesesuaian),
Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa
(proposisi) dengan realitas atau dunia fakta. Suatu fakta realitas
haruslah dikandung oleh obyek perbincangan dalam bahasa dengan
pengertian yang jelas.
Di sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna,
agar setiap pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai
suatu fungsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan
faktual saja. Dan suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa
logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang
(proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).
Kesesuaian antara penggunaan alat bahasa (gramatikal)
dan makna yang dikandung obyek realitas yang diperbincangkannya
(semantik) akan memudahkan siapa pun dalam memahami sebuah ungkapan
filsafat (proposisi), karena pengertian yang dinyatakannya menggambarkan
dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu.
Untuk lebih detail memahami karakter Wittgenstein I ini, bahasa
logika itu, penting sekali untuk melihat tiga aspek mendasar yang
dituliskan Wittgenstein dalam Tractatus itu:
Pertama, Teori Gambar. Von Wright, sahabat Wittgenstein, menjelaskan apa yang dimaksud Teori Gambar dengan ungkapan berikut:
“Fungsi Teori Gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur
gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan
oleh Wittgenstein, sehingga kita bisa saja membalik arti kiasannya
(analogi), dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti
sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar
itu dengan dunia fakta. Cara ini dilakukan dengan menggabungkan
bagian-bagian proposisi, di mana struktur proposisi menggambarkan
kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas: yaitu suatu
kemungkinan mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.”
Dari paparan Wright tersebut, bisa dipahami bahwa kata kunci dalam Teori
Gambar Wittgenstein adalah tentang hubungan antara proposisi yang
diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu
peristiwa. Adanya prinsip “kesesuaian” antara “unsur-unsur gambar”
(inilah proposisi) dengan “unsur-unsur realitas” (makna yang ditunjuk
proposisi atau realitas) menjadi syarat mutlak kebermaknaan sebuah
ungkapanfilsafat..
Kedua, atomisme logis. Untuk memahami konsep
atomisme logis Wittgenstein, coba perhatikan ilustrasi ini. Sebuah pintu
merupakan satu bagian dari beragam bagian dari sebuah rumah, mulai dari
keberadaan dinding, jendela, kaca, atap, lantai, dan sebagainya. Setiap
bagian atau obyek yang membentuk bangunan rumah itu saling berhubungan,
memiliki interralasi. Maka memahami rumah sebagai sebuah realitas
bukanlah terletak pada berapa obyek yang menopangnya, tapi bagaimana
obyek-obyek kecil itu memiliki interrelasi dan keadaan hubungan
kausalitas, kuantitas, dan kualitas dalam ruang dan waktu. Obyek-obyek
pembangun realitas itulah yang dimaksudkan sebagai atomisme oleh
Wittgenstein, atau ada juga yang mengistilahkannya sebagai “proposisi
elementer”. Pintu, dalam ilustrasi tersebut,adalahfaktaatomis.
Demikian pula dalam memahami dunia ini. Menurut Wittgenstein, dunia
ini harus diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis
itu berhubungan dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini
terdiri dari fakta-fakta yang keseluruhannya saling berhubungan
(totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu jika diuraikan terus-menerus
akan kian mengecil, hingga kemudian fakta terkecil, yang tidak bisa
dipecah lagi, dan itulah fakta atomis. Maka, akhirnya, bagi
Wittgenstein, menguraikan bagaimana fakta-fakta atomis itu ada,
berhubungan, dan membangun sebuah realitas atau keadaan harus dilakukan
dengan struktur logika. Koherensi antara proposisi elementer (fakta
atomis) dengan sebuah peristiwa, keadaan, atau realitas hanya bisa
dijelaskan dengan nalar logis yang terang pula.
Ketiga, konsep formal dan konsep nyata. Pembeda
paling terang antara konsep formal dan konsep nyata dalam filsafat
Wittgenstein ialah pada struktur logikanya. Jika konsep nyata
berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang jelas, terarah, dan
langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada suatu
variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Dalam
bahasa lain, bisa dinyatakan, konsep nyata berada di dalam tubuh konsep
formal dan konsep formal baru akan terpahami jika dirasuki oleh
konsep-konsep nyata. Jadi, jika konsep formal bisa berubah-ubah sesuai
dengan kandungan konsep nyata yang memasukinya, sementara konsep nyata
secara otomatis menunjuk pada suatu kondisi atau fakta realitas yang
jelas arahnya.
Cara mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu termasuk konsep
formal atau konsep nyata ialah dengan cara mengajukan pertanyaan:
“Apakah kita bisa memahami ungkapan itu untuk mengiyakan atau
menolaknya.” Jika kita bisa memahaminya tanpa perlu verifikasi, maka
itulah konsep nyata. Sebaliknya, jika kita tidak mampu memahaminya tanpa
verifikasi, maka itulah konsep formal.
Contoh yang bisa menjelaskan ini bisa diperhatikan ilustrasi berikut:
“Di pojok sana, ada beberapa buku.” Mendengar kalimat ini, kita akan
dengan mudah langsung mendapatkan makna (proposisi) terhadap buku
(realitas). Tanpa perlu melakukan verifikasi, kita langsung mengerti
bahwa buku adalah sebuah obyek dengan ciri begini dan begini yang nyata
wujudnya. Inilah yang dimaksud konsep nyata.
Bandingkan dengan ilustrasi berikut:
“Perhatikan obyek-obyek tersebut.” Mendengar kalimat ini, kita tidak
bisa langsung mengambil makna kalimat tersebut, lantaran kata
“obyek-obyek” tidak bisa dinyatakan langsung dalam realitas. Inilah ciri
dasar konsep formal. Kita baru akan bisa memahami apa yang dimaksud
dengan kata “obyek-obyek” jika kemudian kalimat tersebut dilanjutkan
dengan: “Ada buku, rokok, korek, HP, dan kopi”. Kalimat kedua ini adalah
konsep nyata yang mengisi obyek-obyek itu dan kita bisa langsung
memahami maknanya dalam kenyataan. Tapi makna konsep formal itu pun akan
berubah jika kalimat penerusnya adalah: “Ada bartender, home band, LCD,
AC, blower, meja, kursi, dan senyum manis waitress.” Kalimat penerus
ini adalah konsep nyata yang mengisi konsep formal pertama, sehingga
maknanya pun akan berubah.
Itulah sebabnya konsep formal sering dinyatakan sebagai “kandungan
nilai nominal”, sementara konsep nyata adalah “kandungan nilai
intrinsik”.
1.2 Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai
pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang
ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan
dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah
kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna
setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah
bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan
untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1. Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan
bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas. Fakta bahwa sangat
banyak lalu-lintas bahasa dalam kehidupan nyata sehari-hari, yang
menghasilkan makna-makna yang sangat beragam bahkan terhadap satu kata
atau proposisi, memperlihatkan betapa bahasa logika tidak mampu menjawab
keinginan dasar filsafat analitika untuk mengentaskan kerancuan makna
bahasa. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari ini menganut prinsip
bahwa makna kata ditentukan oleh penggunaannya.
Jika filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam
suatu kata dan proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian
memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka
wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk
menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas).
Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah
tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman
bahasa biasa dan cara penggunaannya,yang memproduksi keragaman makna
nyata.
Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan da-lamtigaprinsipsekaligus:
Pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan kea-daan faktualnya (state of affairs).
Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggam-barkan suatu keadaan faktual.
Ketiga, setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa
logika yang sempurna, mes kipun pada pandangan pertama barangkali sukar
untuk dilihat.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri
Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations,
Wittgenstein telahmeletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa
sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
2. Tata permainan bahasa (language game).
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika
dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja”
memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan
bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh
menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya
menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang
aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan
baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali
(berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur.
Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka
tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan
permainan…”
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan
jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata
aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan
lainnya, akan kehilangan maknanya.
“Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari
sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat
tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas
tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan
kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang
terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya.
Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainanbahasa(languagegame).
Sama halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan
dalam berbagai jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll.,
demikian pula dalam ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan
permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak
memicu kekacauan bahasa dan maknanya. Misal, tata aturan permainan
berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau keseharian. Kedua jenis
penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang
bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan
pemaknaannya.Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa
dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa.
Demikian pulasebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata
aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran
Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama
Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya:
“Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna
sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna
sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh
Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata
dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang
melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas
kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan
dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme,
ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi
Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum
tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu
lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Misal lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada
bangunan, maka ia berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam
konteks kebudayaan, ia berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam
konteks politik, ia berarti “partai politik”.Danseterusnya.
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau
tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks non-formal,
keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan
intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam
sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas,
dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan
non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan
permainannya, tidak boleh dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan
memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah
yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun
harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan
penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi,
jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam
konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata
“permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan
untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai
dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada
seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya,
sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan
bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata
“filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara
seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila
diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”,
“usul”, dll.
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang
bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks
penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan
permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus
kesan makna yang disertakannya. Kondisi ini sama persis dengan
pentingnya untuk mengikuti tata aturan permainan bola saat kita bermain
bola, agar permainan bola itu berjalan dengan terang dan baik, seperti
tata aturan handball, corner, tendangan bebas, pinalti, lemparan ke
dalam, teckling. Atau tata aturan permianan dalam race MotoGP, seperti
through by thrue, jumping start, latest breaking, racing line,
kualifikasi, lap, paddock, safety car, bendera putih, marshall,dll.
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik
persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan
untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof.
Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan
tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan
pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.
Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
Pertama, pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat
umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan
sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for
generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari
sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah
suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam
keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan
dalamkemajemukan.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau
pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat
dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang
dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga
tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas
tampak memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda.
Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum
dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda.
Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family
resemblances):bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu terdapat
perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku, meskipun
memiliki dasar kemiripan yang dekat.Ia tidak benar-benar sama,
karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi
hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.
Kata “aku”, “engkau”, misalnya, memiliki makna yang umum yang melekat
pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks
penggunaan apa pun juga. Tetapi ini tidak berarti bahwa kata tersebut
benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai
adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata
aturan permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah
terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika
digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keabrakan
antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi
formal, missal terhadap atasan atau orang yang lebih tua, ia akan
menimbulkan kesan tidak etis, tidak pas, tidak menghormati. Inilah bukti
bahwa kendati ada kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja
akan selalu terikat dengan tata aturan permainannya.
Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family
resemblances itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya
“serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan
permainannya.
1.3 Beberapa Kritik terhadap Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game,
memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya,
di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat
industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan
dalam studi ini.
Pertama, peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use”
(penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan
bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang pentingnya untuk
membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
Sebagaimana yang dicontohkan di bagian sebelumnya, kata biasa baku
“permintaan dan penawaran” (demand and supply) adalah khas ilmu Ekonomi.
Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard tetap dalam
menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya
masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui
dalam penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan
secara baku sesuai disiplinnya, maka hal itu akan memicu kekacauan makna
bahasa.
Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang
berhenti pada batas konteks penggunannya an sich, dengan menambahkan
kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah,
kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa biasa.
Kedua, kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya
mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg
Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa
sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari
tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada. “Pemahaman” (atau
“mengerti”) harus dipandang sebagai sikap fundamental untuk “mengerti”
cara berada manusia sendiri. Itulah sebabnya makna sebuah kata atau
bahasa harus digali dari segala unsur yang melengkapi bangunan kata itu
sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat dalam kata-kata itu sendiri;
kata-kata selalu mengandung makna yang penuh;
[ dan merupakan makna utuh Being yang membangunnya.
Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah mengusung kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang
panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas,
Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung
kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima
dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas
ekonomi di wilayahnya. Tentu saja, konsep
language game dalam
contoh ini tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana cara memaknai
konteks penggunaan tiga istilah Soros itu. Karena makna dasar yang
dituju oleh Soros sama sekali tidak berkaitan dengan bahasa biasa dan
penggunaannya dalam tata permainan sehari-hari, tetapi menuju kepada
“masa depan” panjang kapitalsime globalnya.
Ketiga, sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan
language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks.
Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur,teks adalah “any discourse fixed
by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa
saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus
discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan
banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat
langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga
gesture.Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak
memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan
pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu
rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer
tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala) penulis dan
pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks
dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom,
mandiri, memiliki totalitasnya sendiri.Karenanya, siapa pun Anda, sangat
bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri,
karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda.
Pada gilirannya, pemikiran ini meniscayakan pluralisme produksi makna
teks.
Ricoeur lalu memunculkan dua kata kunci tentang teks yang sangat
penting dalam pemikirannya, yakni what is said (apa yang dikatakan teks)
dan the act of saying (cara teks mengungkapkannya). Kata kunci pertama,
what is said, adalah meaning yang dikandung sebuah teks. Makna teks
begitu sudah dituliskan menjadi begitu otonom, mandiri, lepas sepenuhnya
dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran
teks tidak menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan
pembacanya. Tidak adanya ruang ini otomatis menjadikan teks berbicara
sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang tentu saja
sangat bergantung pada soal intensi, kepentingan, dan kapasitas
pembacanya.
Pada level what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat
pada standar makna apa pun. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai
pembaca pertama, dengan makna yang dituliskannya pada teksnya, lalu
diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, yang niscaya akan
terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu sendiri
(penulisnya).
Sementara the act of saying adalah bagaimana proses teks
menyingkapkan makna dirinya kepada pembaca dalam sebuah event
interpretasi, seperti peristiwa hermeneutis fusion of horizons, yang
dengan metodologi tersebut terjalin kesalingterbukaan antara teks di
satu sisi dengan pembacanya di sisi lain. Proses “teks membuka diri”
dalam menyatakan kandungan maknanya kepada setiap pembacanya (the act of
saying) membutuhkan “pembaca yang membuka dirinya” kepada teks, yang
kemudian dari event hermeneutis itu, lahirlah produksi-produksi makna.
Sampai di sini, bila dibandingkan dengan teori interpretasi teks
Ricouer tersebut, apa yang bisa kita lakukan untuk memahami sebuah teks,
apalagi teks suci, dengan berpegang pada filsafat bahasa biasa dan
language game Wittgenstein?
Bagaimana, misalnya, kita mampu membedakan sebuah istilah atau
ungkapan teks itu bersifat formal atau tidak, memiliki keumuman makna
tetapi berbeda konteks penggunaannya atau tidak, hingga bersandar pada
language game (konteks penggunaan) apa yang tidak kita alami langsung proses penyampaiannya?
Mari coba kita terapkan dua teori ini pada kata “qawwamun” dalam ayat
al-Qur’an. Dalam ayat “ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ bima
faddalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin…” itu, kata “qawwamun” bila
dikaitkan dengan konteks historisnya,
language game ala
Wittgenstein, bisa dipahami menunjuk pada situasi kultur patriarkal Arab
saat itu. Tetapi, ketika ayat tersebut dibawa ke kehidupan hari ini,
misalnya Indonesia yang lebih terbuka dalam soal gender ini, bagaimana
kita memahami kata “qawwamun” tersebut? Haruskah pemimpin itu bergender
laki-laki? Bagaimana bila ternyata ada perempuan yang memiliki karakter
kepemimpinan yang kuat (leadership) dan diterima oleh masyarakat
Indonesia untuk menjadi pemimpinnya? Apakah ini berarti bahwa seluruh
rakyat muslim Indonesia melanggar makna otentik ayat tersebut, yang
karenanya layak diklaim ingkar al-Qur’an dan berdosa besar?
Filsafat bahasa biasa dan
language game Wittgenstein tidak
mampu memproduksi pemahaman logis apa pun terhadap ayat tersebut jika
ayat tersebut semata disekatkan pada konteks penggunaannya
(historisitasnya) yang patriarchal khas Arab masa itu. Tetapi ayat
tersebut akan sangat jauh berbeda produksi penafsirannya bila didekati
dengan teori hermeneutika Ricoeur tersebut, misalnya.
Demikianlah. Meski penulis kurang setuju terhadap pemikiran Ricouer
dalam hal penegasian pentingnya melibatkan pengetahuan latar psikologis
dan antropologis dalam menafsirkan ayat-ayat suci itu (seperti ilmu
asbabun nuzul dan asbabul wurud agar teks suci tidak kehilangan konteks
asli historisitasnya), pemikiran hermeneutis Ricouer (terutama tentang
discourse, event, meaning, what is said, dan the act of saying) sangat
berharga untuk dijadikan metodologi interpretasi teks. Ini sangat jauh
berbeda dengan pemikiran Wittgenstein tentang bahasa logika, bahasa
biasa, dan
language game yang gagap untuk digunakan sebagai metodologi interpretasi teks.
Agaknya, dengan uraian komparatif dan pembuktian tersebut,
pemikiran Wittgenstein hanya cocok digunakan untuk memahami makna bahasa
dalam komunikasi langsung (lisan), bukan dalam teks.
1.4 Hakikat bahasa menurut Ludwig Wittgenstein
Bahasa tidak saja digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi
logis tetapi juga digunakan dalam dan untuk berbagai hal yang
berbeda-beda. Dari segi pragmatik, Wittgenstein memastikan bahwa
terdapat keranekaragaman bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa yang
menyulitkan upaya untuk mengasalkan berbagai keanekaragaman ini pada
satu kriteria tertentu.
Menurut Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk
menjelaskan masalah-masalah dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada
asumsi Wittgenstein tentang makna bahasa. Makna sebuah kata adalah
tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat. Makna kalimat adalah
tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah
tergantung penggunaannya dalam hidup. Karena itu Wittgenstein
menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan
penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Menurut Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan
dalam penggunaan bahasa tersebut kendatipun beranekaragam tetap memiliki
aturan tata bahasa tertentu. Karena itu penyelidikan terhadap
penggunaan bahasa dapat dianalisis berdasarkan aturan tata bahasa
tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan semacam ini sebagai sebuah
penyelidikan gramatikal (Gramamatical Investigations). Ia menjelaskan
bahwa penyelidikan gramatikal merupakan sebuah klarifikasi gramatikal
terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk memperlihatkan adanya
suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini dapat dipandang
sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan gramatis
bahasa. Tujuan yang hendak dicapai dari penyelidikan gramatikal ini
yaitu untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa dalam berbagai
bidang kehidupan manusia serta spesifikasi yang memberikan karakter pada
tiap ragam penggunaan dalam setiap konteks kehidupan. Dengan
menempatkan bahasa dalam komponen-komponen yang terspesifikasi itu,
pemahaman akan bahasa yang disampaikan menjadi jelas. Singkatnya
penyelidikan gramatikal merupakan metode untuk mendapatkan kejelasan
makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
Apa yang dimaksudkan dengan bahasa sehari-hari dalam konteks ini
tidak hanya merupakan bahasa lisan tetapi juga bahasa dalam wacana
tulisan.
2.4.1 Ciri – ciri bahasa
Sifat atau ciri – ciri bahasa, antara lain adalah :
1. Bahasa adalah sebuah sistem
2. Bahasa berwujud lambang
3. Bahasa berupa bunyi
4. Bahasa bersifat arbiter
5. Bahasa itu bermakna
6. Bahasa bersifat konvensional
7. Bahasa bersifat unik
8. Bahasa bersifat universal
9. Bahasa itu bervariasi
10. Bahasa bersifat produktif
11. Bahasa bersifat dinamis
12. Bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial
13. Bahasa merupakan identitas penuturnya
1. Bahasa sebagai system
Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan
sistemis. Dengan sistemis, artinya, bahasas itu tersusun menurut suatu
pola: tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan
sistemis, artinya, bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi
terdiri juga dari sub-sub sistem; atau sistem bawahan. Di sini dapat
disebutkan, antara lain, subsistem fonologi, subsistem morfologi,
subsistem sintaksis dan subsistem semantik. Tiap unsur dalam setiap
subsistem juga tersusun menurut aturan atau pola tertentu, yang secara
keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan
atau pola tertentu, maka subsistem itu pun tidak dapat berfungsi.
Sub sistem bahasa terutama subsistem fonologi, morfologi, dan
sintaksis tersusun secara hierarkial. Artinya, subsistem yang satu
terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang lain ini
terletak pula di bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem itu
(fonologi, morfologi, dan sintaksis) terkait dengan subsistem semantic.
Sedangkan subsistem leksikon yang juga diliputi subsistem semantic,
berada di luar ketiga subsistem struktural itu.
2.Bahasa sebagai lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam kegiatan
ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi,
yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan
manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi (yang di
Amerika ditokohi oleh Charles Sanders Peirce dan di Eropa oleh Fendinand
de Saussure) dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu, antara lain
tanda (sign), lambing (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak
isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Tanda selain dipakai sebagai istilah generic dari semua yang
termasuk kajian semiotika juga sebagai salah satu dari unsur spesifik
kajian semiotika itu, adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau
mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung
dan alamiah. Misalnya, kalau di kejauhan tampak ada asap membumbung
tinggi, maka kita tahu bahwa di sana pasti ada api, sebab asap merupakan
tanda akan adanya api itu.
Berbeda dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung
dan alamiah. Lambing menandai sesuatu yang lain secarakonvensional,
tidak secara alamiah dan langsung. Karena itu lambang sering disebut
bersifat arbiter, sebaliknya, tanda serperti yang sudah dibicarakan di
atas, tidak bersifat arbiter. Yang dimaksud arbiter adalah tidak adanya
hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambing dengan yang
dilambangkannya.
Oleh karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum).
Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari symbol. Termasuk alat
komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa, misalnya
kata, adalah symbol atau lambang.
Tanda-tanda itu adalah sinyal gerak isyarat (gesture), gejala,
kode, indeks, dan ikon. Yang dimaksud dengan sinyal atau isyarat adalah
tanda yang disengaja yang dibuat oleh pemberi sinyal agar si penerima
sinyal melakukan sesuatu.
3. Bahasa adalah bunyi
Kata bunyi, yang sering sukar dibedakan dengan kata suara, sudah
biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis, menurut
Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai
akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan-perubahan dalam tekanan udara.
Bunyi bahasa atau bunyi uajaran (speech sound) adalah satuan bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati
sebagai “fon” dan di dalam fonemik sebagai “fonem”.
4. Bahasa itu bermakna
Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada sesuatu konsep, ide,
atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
Lebih umum dikatakan lambang bunyi tersebut tidak punya referen, tidak
punya rujukan. Makna yang berkenaan dengan morfem dan kata disebut makna
leksikal; yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut
makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna
pragmatic, atau makna konteks.
5. Bahasa itu arbiter
Kata arbiter diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap,
mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbiter itu adalah tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan
konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa
yang disebut significant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris:
signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie
adalah konsep yang dikandung oleh signifiant.
6. Bahasa itu konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya
bersifat arbiter, tetapi penerimaan lambang tersebut untuk suatu konsep
tertentu yang bersifat konfensional. Artinya semua anggota masyarakat
bahasa itu mematuhi konfensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk
mewakili konsep yang diwakilinya. Jadi kalau kearbiteran bahasa pada
hubungan antara lambanag-lamabang bunyi dengan konsep yang
dilambangkannya, maka kekonfensionalan bahasa terletak pada kepatuhan
para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep
yang dilambangkannya.
7. Bahasa itu produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti
produktif “ banyak hasilnya” atau lebih tepat “terus menerus
menghasilkan” lalu, kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka
maksudnya, meskipun unsure-unsur itu terbatas, tapi dengan unsur-unsur
dengan jumlahny ayng terbatas terdapat di luar satuan-satuan bahasa yang
jumlahnya yang tidak terbatas, meski secara relative sesuai dengan
sistem yang berlaku dalam bahasa.
Keproduktifan bahasa Indonesia dapat juga dilihat pada jmumlah yang
dapat dibuat. Dengan kosa kata yang menurut Kamus Besar Huruf Bahasa
Indonesia hanya berjumlah lebih kurang 60.000 buah, kita dapat membuat
kalimat bahasa Indonesia yang mungkin puluhan juta banyaknya, termasuk
juga kalimat-kalimat yang belum pernah ada atau pernah dibuat orang.
Keproduktifan bahasa memang ada batasnya dalam hal ini dapat
dibedakan adanya dua macam keterbatasan, yaitu keterbatasan pada tingkat
parole dan keterbatasan pada tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat
parole adalah pada ketidak laziman atau kebelum laziman bentuk-bentuk
yang dihasilkan. Sedangkan pada tingkat langue keproduktifan itu
dibatasi karena kaidah atau sistem yang berlaku.
8. Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki
oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik., maka
artinya, setiap bahasa mempunyai cirri khas sendiri yang tidak dimiliki
oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi , sistem
pembetukkan kata, sistem pembentukkan kalimat, atau sistem-sistem
lainnya. Salah satu keunikkan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata
tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Maksudnya, kalau pada
kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna itu
tetap. Yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat.
9. Bahasa itu universal
Selain bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau cirri
masing-masing, bahasa itu bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri
yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di Dunia ini.
Ciri-ciri yang universal ini merupakan unsur bahasa yang paling umum,
yang biasa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain.
Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa
yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang
terdiri dari vocal dan konsonan. Tetapi berapa banyak vocal dan konsonan
yang dimiliki oleh setiap bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan.
Bukti dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai
satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang maknany kata,
frase, klausa, kalimat, dan wacana. Namun, bagaimana satuan-satuan itu
terbentuk mungkin tidak sama. Kalau pembentukan itu bersifat khas, hanya
dimiliki sebuah bahasa maka hal itu merupakan keunikan dari bahasa.
Kalau ciri itu dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu hukum atau satu
golongan bahasa, maka ciri tersebut menjadi ciri universal dan keunikan
rumpun atau sub rumpun bahasa tersebut.
Ada juga yang mengatakan bahwa ciri umum yang dimiliki oleh
bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun atau sub rumpun, atau juga
dimiliki oleh sebagian besar bahasa-bahasa yang ada di Dunia ini sebagai
ciri setengah universal. Kalau dimiliki oleh semua bahasa yang ada di
Dunia ini beru bisa disebut universal.
10. Bahasa itu dinamis
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak perbah lepas
dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu,
sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat tak ada kegiatan
manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Malah dalam bermimpi pun
manusia menggunakan bahasa.
Karena keterkaitan dan keterikatan bahasa itu dengan manusia,
sedangkan dalam kehidupannya dalam manusia nya kegiatan manusia tidak
tetap dan tidak berubah, maka bahasa itu juda menjadoi ikut berubah,
menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis. Karena itulah, bahas itu
disebut dinamis.
Perubahahan yang paling jelas, dan paling banyak adalah pada bidang
leksikon dan semantik. Barang kali, hamper setiap saat ada kata-kata
baru muncul sebagai akibat perubahan dan ilmu, atau ada kata-kata lama
yang muncul dengan makna baru. Hal ini juga dipahami, karen kata sebagai
satuan bahasa terkecil, adalah sarana atau wadah untuk menampung suatu
konsep yang ada dalam masyarakat bahasa. Dengan terjadinya perkembangan
kebuidayaan, perkembang ilmu dan tekhnologi, tentu bermunculan
konsep-konsep baru, yang tentunya disertai wadah penampungnya, yaitu
kata-kata atau istilah-istilah baru.
Perubahan dalam bahasa ini dapat juga bukan terjadi berupa
pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan
perubahan yang dialami masyarakat bahasa yang bersangkutan. Berbagaio
laasan sosial dan politik menyebabkan orang meninggalkan bahasanya, atau
tidak lagi menggunakan bahasanya, lalu menggunakan bahasa lain. Di
Indonesia, kabarnya telah banyak bahasa daerah yang telah ditinggalkan
para penuturnya terutaam dengan alasan sosial. Jika ini terjadi terus
menurus, maka pada suatu saat kelak banyak bahasa yang hanya ada
beradadalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.
11.Bahasa itu bervariasi
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam
suatu masyarakat bahasa. Yang termasuk dalam masyarakat bahsa adalah
mereka merasa menggunakan bahasa yang sama. Jadi, kalau disebut
masyarakat bahasa Indonesia adalah semua orang yang merasa memiliki dan
menggunakan bahasa Indonesia.
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari ber bagai
orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya
yang tidak sama. Oleh karena itu, karena latar belakang dan
lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi
bervariasi atau beragam, dimana antara variasi atau ragam yang satu
dengan yang lain sering kali mempunyai perbedaan yang besar.
Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui,
yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam
bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri
khas bahasanya masing-masing. Kalau kita banyak membaca karangan orang
yang banyak menulis, misalnya, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana,
Hamingway, atau Mark twain , maka kita akan dapat mengenali ciri khas
atau idiolek pengarang-pengarang itu.
Dialek adalah variasi bahasa yang di gunakan oleh sekelompok
anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Variasi bahasa
berdasarkan tempat ini lazim disebut dengan nama dialek regional ,
dialek area, atau dialek geografi. Sedangkan variasi bahasa yang
digunakan sekelompok anggota masyarakat dengan status sosial tertentu
disebut dialek sosial atau sosiolek.
Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal
digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk
situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam
nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam
lisan dan ragam tulisan. Untuk keperluan pemakaiannya dapat dibedakan
adanya ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa jujrnalistik, ragam bahasa
sastra, ragam bahasa militer, dan ragam bahasa hukum.
12. Bahasa itu manusiawi
Kalau kita menyimak kembali cirri-ciri bahasa, yang sudah
dibicarakan dimuka, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan
produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa.
Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya, bahkan juga
dengan manusia, adalah memang suatu kenyataan. Namun, alat komunikasinya
tidaiklah sama dengan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa.
Dari penelitian para pakar terhadap alat komunikasi binatang bisa
disimpulkan bahwa satu-satuan komunikasi yang dimiliki binatang-binatang
itu bersifat tetap.sebetulnya yang membuat alat komunikasi manusia itu,
yaitu bahasa, produktif dan dinamis, dalam arti dapat dipakai untuk
menyatakan sesuatu yang baru, berbeda dengan alat komunikasi binatang,
yang hanya itu-itu saja dan statis , tidak dapat dipakai untuk
menyatakan sesuatu yang baru, bukanlah terletak pada bahasa itu dan alat
komunikasi binatang itu, melainkan pada perbedaan besar hakikat manusia
dan hakikat binatang. Manusia sering disebut-sebut sebagai homosapiens
makhluk yang berpikir, homososio makhluk yang bermasyarakat, homofabel
makhluk pencipta alat-alat dan juga animalrasionale makhluk rasional
yang beerakal budi. Maka dengan segala macam kelebihannya itu jelas
manusia dapat memikirkan apa saja yang lalu, yang kini, dan yang masih
akan datang, serta menyampaikannya kepada orang lain melalui alat
komunikasinya, yaitu bahasa. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa, adalah bersifat manusiawi,
dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.
3.1. Kesimpulan
Ludwig Wittgenstein adalah seorang tokoh filsafat bahasa
yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut
sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein
I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, maka Pada era Wittgenstein II, di tandai dengan karyanya Philosophical Investigations,
yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik,
bahkan dekat dengan cerita detektif. Suatu bahasa baru bisa dinyatakan
memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis
yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).Dalam bahasa logika
itu, terdapat tiga aspek mendasar yaitu:Teori Gambar,atomisme
logis,konsep formal dan konsep nyata.
Ada dua fase pokok yang membedakan pemahaman antara Wittgenstein II
dengan Wittgenstein I yaitu:Filsafat bahasa biasa (ordinary language
philosophy) dan Tata permainan bahasa (
language game).Dalam tata
permainan bahasa pemikiran Wittgenstein sangat terang muncul dalam
pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah
kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah
bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah
kehidupan.